Surabaya, Investigasi.today – Sebanyak 225 pasangan mempelai pengantin menjalani isbat nikah massal. Acara ini digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama sejumlah penyedia jasa layanan pernikahan, di salah satu hotel di Surabaya, Selasa (19/9).
Ratusan peserta terdiri dari 8 mempelai nikah baru dan 217 mempelai merupakan pasangan yang belum mencatatkan pernikahannya ke dalam catatan administrasi negara.
Terkait hal ini, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, biaya nikah massal mencapai Rp 7,4 miliar dan tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Program ini menjadi contoh pertama kalinya di Indonesia menggelar suatu acara tanpa sentuhan pemerintah,” katanya sesuai acara dikutip dari Antara.
Menurutnya, biaya Rp 7,4 miliar merupakan dana hasil patungan atau swadaya antara penyedia jasa pernikahan, hingga sejumlah perusahaan.
Ia menyatakan, agenda nikah massal itu merupakan implementasi program “Layanan Integrasi Kependudukan antara Dispendukcapil, Pengadilan Agama, Kementerian Agama Kota Surabaya” atau “Lontong Kupang”.
Untuk itu, kata dia, melalui isbat nikah “Lontong Kupang” itu panitia pelaksana langsung mencatat pernikahan para peserta nikah masal ke dalam sistem administrasi kependudukan.
“Tak hanya persoalan uang tetapi ini menyangkut rasa kebahagiaan. Artinya, yang mampu membantu tidak mampu,” ucap dia.
Ke depannya, Pemkot Surabaya siap kembali berkolaborasi dengan para penyedia jasa layanan pernikahan untuk menggelar acara serupa, namun dengan jumlah peserta yang lebih besar dan konsep acara berbeda.
“Mungkin bisa garden party yang melibatkan warga dan bisa menghadiri acara pernikahan massal,” kata Eri.
Jasa layanan pernikahan yang urun ambil bagian di nikah massal tergabung di sejumlah organisasi, seperti Asosiasi Pengusaha Dekorasi Indonesia (ASPEDI), Himpunan Perusahaan Penata Acara Pernikahan (Hastana), Ikatan Pengusaha Jasa Musik Pernikahan Indonesia (IPAMI), dan Himpunan Pengusaha Dokumentasi Indonesia (HIPDI).
Sementara itu, isbat pernikahan diikuti pasangan tertua, yakni Maki,77, dan Nurhayati,68,.
Anak dari pasangan mempelai itu, Kadariyati menyatakan, orang tuanya mengikuti nikah massal lantaran ingin mendapatkan dokumen catatan pernikahan dari negara. Hal dikarenakan dokumen tersebut hilang beberapa tahun yang lalu.
“Bapak dan ibu menikah tahun 1972, surat nikah hilang karena dulu pindah-pindah tempat tinggal, mungkin kesingsal. KK sama akte juga belum ada barcode-nya dulu,” ujarnya.
Dia menyatakan nikah massal kolaborasi antara Pemerintah Kota Surabaya dan sejumlah stakeholder terkait dirasa sangat membantu, terlebih orang tuanya juga menginginkan mendapatkan dokumen kenegaraan.
“Surat-suratnya itu penting buat bapak dan ibu saya. Bapak ibu juga berterima kasih sama penyelenggara acara ini,” demikian Kadariyati. (Slv)