Thursday, July 17, 2025
HomeBerita BaruJatimBedah Buku “Gus Dur dan Politik Kaum Sarungan”: Menghidupkan Kembali Gagasan Politik...

Bedah Buku “Gus Dur dan Politik Kaum Sarungan”: Menghidupkan Kembali Gagasan Politik Kaum Tradisionalis

Lamongan, Investigasi.today – Sebuah acara bedah buku yang penuh refleksi dan semangat kebangsaan digelar dengan antusias di Warkop Blosoo Paciran-Lamongan pada, Rabu (27/05/ 25) malam hari. Buku yang dibedah berjudul “Gus Dur dan Politik Kaum Sarungan”, karya Aam Waro’ Panotogomo, yang mencoba menelusuri dan merumuskan ulang relevansi pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam konteks kaum tradisionalis (kaum sarungan) di tengah dinamika politik nasional saat ini.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh PMII INSUD Lamongan, Gus Durian dan Ormas Islam lainnya. Dalam kesempatan tersebut turut hadir sejumlah tokoh, alumni PMII, kader NU, narasumber antara lain KH. Syahrul Munir Ketua PCNU Lamongan sebagai Keynote Speaker, A. Thoriq’ Hidayatullah KPU Kabupaten Lamongan sebagai pembedah utama, serta Mohammad Fiqih Firdaus, dosen muda dari IAI Tabah Lamongan, yang memberikan pandangan kontekstual terhadap isi dan pesan buku tersebut.

Dalam sambutannya, KH. Syahrul Munir menyampaikan orasi kunci yang mengajak seluruh hadirin untuk menengok kembali jejak langkah Gus Dur, tidak hanya sebagai seorang politisi, melainkan sebagai seorang pejuang kebudayaan dan tokoh moral bangsa. “Politik Gus Dur adalah politik yang tak pernah lepas dari nilai-nilai. Ia berdiri bukan atas dasar kepentingan kekuasaan, tetapi atas dasar kepentingan kemanusiaan,” ungkap beliau.

Gus Syahrul sapaan akrabnya, juga mengingatkan pentingnya menjaga keberlanjutan pemikiran Gus Dur di tengah generasi muda, utamanya dari kalangan pesantren. “Kaum sarungan harus berani mengambil peran lebih besar dalam ruang publik, namun tetap dengan ruh etika dan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin,” tegasnya.

Penulis buku, Aam Waro’ Panotogomo, menyampaikan bahwa buku ini lahir dari kegelisahan pribadi melihat bagaimana kontribusi politik kaum sarungan yang dahulu menjadi pilar penting dalam sejarah bangsa kini mulai terpinggirkan oleh politik transaksional dan pragmatisme kekuasaan. Dalam bukunya, ia mencoba merumuskan bagaimana warisan pemikiran Gus Dur bisa menjadi landasan perjuangan politik kaum tradisionalis hari ini.

“Gus Dur selalu berbicara tentang keberpihakan, pada yang lemah, pada minoritas, pada yang tak punya suara. Inilah yang saya anggap sebagai politik kaum sarungan. Gus Dur adalah madrasah kubro bagi bangsa ini. Sehingga santri dan kader NU perlu melanjutkan politik yang berakar pada spiritualitas, keikhlasan, dan keberanian bersuara untuk keadilan,” jelas Gus Aam.

Ia menambahkan bahwa tantangan utama saat ini bukan hanya menjaga warisan Gus Dur, tetapi membumikan kembali nilai-nilai tersebut dalam realitas sosial-politik masyarakat. “Buku ini bukan sekadar nostalgia atas sosok Gus Dur, tetapi ajakan untuk meneruskan laku politik yang berbasis etika dan moral.”

Sementara itu A. Thoriq’ Hidayatullah sebagai pembanding memberikan pandangan kritis terhadap isi buku. Ia menilai bahwa buku ini berhasil memetakan relasi antara pemikiran Gus Dur dengan dinamika kaum sarungan, yang selama ini dianggap berada di pinggiran wacana politik nasional. “Penulis mampu mengelaborasi bagaimana Gus Dur menjadikan pesantren sebagai ruang produksi nilai-nilai kebangsaan, sekaligus pusat resistensi terhadap hegemoni kekuasaan yang menindas,” papar Thoriq.

Ia juga menekankan bahwa relevansi buku ini sangat kuat dengan kondisi Indonesia hari ini, di mana demokrasi masih dibayangi oleh oligarki dan polarisasi identitas. “Kaum sarungan memiliki peran strategis untuk mengembalikan arah politik bangsa ke jalan etik. Gus Dur sudah memberi contoh. Sekarang tinggal bagaimana kita berani melanjutkannya.”

Kaum Sarungan dan Tantangan Masa Depan

Sementara itu, Mohammad Fiqih Firdaus, sebagai dosen muda yang berlatar belakang pesantren, menyoroti pentingnya mengkontekstualisasi ulang nilai-nilai Gus Dur dalam era digital dan pasca-kebenaran (post truth). Ia mengingatkan bahwa tantangan generasi saat ini bukan sekadar meneruskan tradisi, tetapi juga mentransformasikannya menjadi kekuatan politik yang adaptif dan visioner.

“Kaum sarungan hari ini tidak cukup hanya mengenang Gus Dur, tetapi harus menjadi pelanjut gagasan-gagasannya. Kita butuh ruang-ruang dialog seperti ini agar tidak kehilangan arah dan idealisme di tengah derasnya arus politik praktis,” kata Fiqih.

Ia juga mengapresiasi keberanian penulis yang menyuarakan kegelisahan kolektif kaum santri dalam menghadapi krisis representasi. “Buku ini adalah cermin bagi kita semua. Apakah kita masih punya keberanian seperti Gus Dur, atau justru terjebak dalam zona nyaman?”

Acara bedah buku ini ditutup dengan diskusi interaktif yang melibatkan peserta dari berbagai kalangan. Diantaranya santri, mahasiswa, pengurus NU, tokoh masyarakat, hingga pegiat literasi. Banyak peserta mengaku mendapatkan pencerahan dan semangat baru untuk kembali membaca dan menggali pemikiran-pemikiran Gus Dur secara lebih dalam.

Di akhir acara, penulis berharap bahwa buku ini bisa menjadi sumbangsih kecil dalam menjaga api perjuangan Gus Dur, sekaligus sebagai undangan bagi generasi muda pesantren untuk tidak takut terlibat dalam kancah politik dengan membawa misi nilai dan moralitas.

Acara ini membuktikan bahwa Gus Dur belum selesai dibaca. Pemikirannya terus hidup, menginspirasi, dan menjadi sumber kekuatan bagi mereka yang percaya bahwa politik bisa dan harus berjalan seiring dengan nurani. (Ink)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -




Most Popular