
Jakarta, investigasi.today – Wakil Ketua Komisi X DPR Maria Yohana Esti Wijayati menilai, Korea Selatan bisa menjadi contoh dalam merumuskan regulasi anti-bullying yang tegas di Indonesia.
Ia menyoroti kebijakan terbaru di negara itu, di mana riwayat siswa pelaku bullying akan tercantum saat mendaftar ke perguruan tinggi mulai 2026.
“Ini menarik, bisa menjadi contoh untuk penanganan sanksi sosial kepada pelaku bullying. Norma sanksi yang jelas dapat membuat mereka yang terindikasi punya sikap bullying lebih berhati-hati dan memiliki pengendalian diri,” tutur Esti, Rabu (26/11).
Menurut Esti, model sanksi sosial seperti yang diadopsi Korsel dapat menjadi “rem moral” agar pelaku perundungan tidak hanya dikenai disiplin, tetapi juga menanggung konsekuensi sosial yang berdampak pada masa depan akademiknya.
Ia mendorong penguatan regulasi anti-bullying di lingkungan pendidikan Indonesia menyusul maraknya kasus perundungan dalam beberapa waktu terakhir.
Menurutnya, regulasi tidak cukup hanya dalam bentuk pasal, tetapi harus disertai Standar Operasional Prosedur (SOP), mekanisme pengawasan, dan pelaksanaan yang terukur.
“Perilaku bullying di sekolah bukan hanya persoalan disiplin. Tetapi masalah sistemik yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar, kesehatan mental siswa, kapasitas guru, serta budaya sekolah yang belum sepenuhnya menghargai keselamatan dan martabat anak,” tegasnya.
Esti menyebut langkah memasukkan pencegahan dan penanganan bullying ke dalam revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) merupakan upaya strategis memperbaiki ekosistem pendidikan secara struktural.
Ia mengkritisi regulasi pendidikan terdahulu yang kerap mencantumkan istilah seperti bullying, pelaporan ramah anak, hingga pendampingan psikologis. Namun, tidak memiliki definisi operasional maupun timeline respons yang seragam.
“Akibatnya, sekolah menafsirkan mandat pencegahan bullying secara berbeda-beda, dan kasus yang seharusnya ditangani serius justru tertutup oleh prosedur administratif yang lemah,” ujarnya.
Keterbatasan kapasitas guru, menurut Esti, menjadi salah satu kendala utama dalam penanganan kasus bullying di sekolah. Ia menilai perlu adanya pelatihan khusus agar guru mampu bertindak cepat, profesional, dan memahami mekanisme penanganan konflik antar siswa.
“Pencegahan dan penanganan bullying tidak mungkin berjalan jika kapasitas pelaksana di sekolah rendah. Guru perlu memiliki kompetensi konseling dan manajemen konflik, siswa harus teredukasi, orang tua aktif terlibat, dan sekolah wajib memiliki SOP yang hidup, bukan sekadar dokumen formalitas,” jelasnya.
Esti berharap revisi RUU Sisdiknas dapat mendorong lahirnya regulasi turunan yang operasional, memiliki standar anggaran minimum, serta memungkinkan audit implementasi program anti-bullying di sekolah.
“Tanpa aturan yang rinci agar dapat ada audit, upaya pemberantasan bullying hanya akan menjadi rumusan normatif tanpa kekuatan implementasi,” tegasnya.
Ia menilai penanganan bullying juga tidak boleh hanya dibebankan kepada sekolah, tetapi harus didukung pihak eksternal seperti dinas kesehatan, dinas sosial, lembaga psikologi, aparat penegak hukum, dan komunitas lokal.
“Anak-anak Indonesia berhak tumbuh dalam lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, dan negara wajib memastikan itu terjadi bukan hanya melalui pasal, tetapi melalui implementasi nyata di setiap sekolah,” pungkasnya. (Ink)


