Surabaya, Investigasi.today – Pengadilan Negeri Surabaya kembali menggelar sidang perkara penembakan mobil Pejabat Pemkot Surabaya, Ery Cahyadi, dengan terdakwa anak Bos Liek Motor, Senin (15/5/2018).
Dalam persidangan yang digelar diruang sidang Garuda1 tersebut, dipimpin oleh Anne Rusiana selaku Ketua Majelis Hakim, sementara terdakwa Royce Muljanto melalui tim penasehat hukumnya menghadirkan dua orang saksi ahli yang meringankan perbuatan terdakwa.
Dua orang saksi tersebut adalah, Sapta Aprilianto, seorang Ahli Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Firtian Judiswandarta dari Perbakin Jawa Timur.
Dalam keterangan yang didengar secara terpisah tersebut, ialah bahwa dua saksi meringankan tersebut dihadirkan untuk mematahkan dakwaan jaksa.
Tujuan mematahkan dakwaan Jaksa tersebut dapat dilihat saat Ahli Pidana, Sapta Aprilianto menjawab pertanyaan terkait UU Darurat Pasal 1 ayat (1) Tahun 1951.
“Semestinya UU Darurat 1951 itu haruslah ada pembaharuan karena tidak sesuai dengan kondisi saat ini, UU tersebut di keluarkan karena pada tahun tersebut adalah masa peralihan dari penjajahan Belanda karena banyaknya masyarakat yang memiliki senjata setelah melucuti persenjataan dari penjajah. Sehingga presiden terpaksa mengeluarkan UU tersebut,” terang Sapta Aprilianto saat menjawab pertanyaan Jaksa dari Kejari Surabaya Ali Prakosa.
Tak hanya itu, Dosen Fakultas Hukum Unair ini juga mengatakan, jika Pasal 335 yang dijeratkan pada terdakwa Royce Muljanto merupakan pasal karet yang penjelasan frasa dalam pasal tersebut sebagian sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
“Itu pasal karet, karena MK pernah memutuskan saya lupa nomernya, bahwa frasa kata tidak menyenangkan di hilangkan, pasal tersebut haruslah ada subjek hukumnya yaitu orangnya saat terjadi tindak pidana,” terang Sapta Aprilianto menjawab pertanyaan dari tim penasehat hukum terdakwa Royce Muljanto.
Terkait apabila pelaku mengalami gangguan kejiwaan setelah di periksa oleh dokter ahli kejiwaan, tim penasehat hukum terdakwa menanyakan adakah kemungkinan pelaku bisa terlepas dari jeratan hukum.
Tak berhenti sampai disitu saja, tim penasehat hukum terdakwa Royce Muljanto juga memunculkan jurus baru untuk bisa melepaskan anak Bos Liek Motor ini dari jeratan hukum. Melalui pertanyaan ilustrasinya, tim pembela mengarahkan adanya kelainan jiwa yang disandang kliennya.
“Jadi bila pelaku sebelum, saat melakukan dan sesudah melakukan tindak pidana terbukti menderita kelainan jiwa bisa lolos dari jeratan hukum, tapi bila tidak menginsyafi ataupun menyesali perbuatannya maka bisa dijerat bila melakukan perlawanan hukum,” kata Dosen Fakultas Hukum Unair saat menjawab pertanyaan tim penasehat hukum terdakwa Royce Muljanto.
Sementara, saksi Firtian Judiswandarta dari Perbakin Jawa Timur ini dihadirkan untuk menjelaskan seputar legalitas senjata yang dipakai terdakwa Royce Muljanto untuk menembaki mobil pejabat Pemkot Surabaya, Ery Cahyadi tersebut.
Pada keterangannya Saksi dari Perbakin tersebut memberikan keterangan bahwa terdapat perbedaan antara senjata api (senpi) dengan air gun, menurutnya perbedaan itu terletak pada amunisinya. Senpi menggunakan amunisi berisi mesiu sedangkan air gun tidak.
“Kalau senpi itu selongsong pelurunya berisi mesiu dan apabila ditembakan akan mempunyai daya ledak, sedangkan air gun tidak menggunakan mesiu,” terangnya.
Terkait regulasi kepemilikan air gun, lanjut Firtian, berbeda dengan kepemilikan senjata api.
“Kalau senjata api harus memperoleh perijinan dan mendapat rekomendasi dari Perbakin dan mendapat sertifikasi, apabila lolos dalam sertifikasi, maka Perbakin akan merekomendasikan ke Polda Jatim,” sambung Firtian.
Seperti diketahui, jika kasus penembakan mobil Toyota All New Innova milik Kepala Dinas Perumahan Rakyat, di kawasan permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya Ery Cahyadi dilakukan terdakwa Royce Muljanto pada 14 Maret 2018 lalu.
Penembakan tersebut diduga dilatar belakangi dendam lantaran bengkel Motor Gede (Moge) milik terdakwa Royce Muljanto dibongkar oleh Pemkot Surabaya.(Ml)