Teks foto ; H.M Prasetyo saat menerima piagam dari MURI
JAKARTA, investigasi.Today – “Doa dan Asa Kejaksaan untuk Indonesia, Membangun Sinergi Menjaga Negeri” tema dari dzikir dan istiqosah akbar yang digelar serentak oleh Institusi Kejaksan seluruh Indonesia dalam rangka HUT Adhyaksa ke-58, Jumat (20/7) jadi polemik dan menuai beragam komentar dari kalangan masyarakat dan akademisi.
Dinilai kegiatan yang hanya melibatkan seluruh aparatur sipil negara (ASN) kejaksaan RI di seluruh Indonesia, para ulama, habaib dari berbagai daerah, pimpinan Ormas, dan Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) ditengarai berbau politis.
Apalagi Kegiatan tersebut juga mendapat piagam dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo yang menerima langsung piagam dari MURI tersebut.
Guru Besar bidang Ilmu Fiqih (Hukum Islam) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA, berpendapat acara tersebut terlihat kental bermuatan politis. Bukan soal siapa penyelenggaranya (Korps Adhyaksa), bukan pula soal kontennya yang tidak baik, tapi lebih pada muatannya.
“Sulit untuk tidak dikatakan (dzikir akbar kejaksaan) ada motif (politik),” kata Ahmad Zahro yang juga salah satu Imam Besar Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya ini, Sabtu (21/7).
Zahro menyebut, dalam setiap kegiatan keagamaan tidak boleh ada ‘embel-embel’ tertentu, seperti beribadah demi mendapatkan rekor MURI.
“ Aneh saja, dzikir kok di-MURI-kan, apalagi pemilik MURI non-muslim. Lebih aneh lagi banyak kyai yang mau hadir,” tegas Zahro.
Teks foto ; suasana dzikir serentak kejaksaan Se-Indonesia
Hal yang sama Juga dikatakan Direktur Institute for Javanese Islam Research, Akhol Firdaus, M.Pd, M.Ag,
Dia menilai dzikir serentak kejaksaan di seluruh Indonesia sangat mudah ditafsirkan berdimensi politik karena saat ini memang tahun politik.
“ Tentu saja, dimensi politik tidak selalu dikaitkan dengan politik elektoral, tetapi lebih merupakan politik pewacanaan, terkait dengan agenda-agenda strategis dalam mengatasnamakan ide-ide kontra radikalisme,” kata Akhol.
Ditambahkan Akhol, Islam sebenarnya tidak berbeda dengan agama lain yang selalu menjadi instrumen politik.
“ Islam tidak berbeda dengan agama lain yang bisa saja digunakan sebagai instrumen politik bagi segenap kalangan yang cenderung tidak memiliki platform politik yang jelas,” terang ahli filsafat Islam ini.
Meski demikian dalam konteks kontra radikalisme, Akhol menilai, para elite politik seharusnya dapat mengembalikan narasi moderasi menjadi strategi pewacanaan yang baik karena mayoritas ulama juga menegaskan bahwa Islam itu sendiri bersifat moderat.
“ Kita mengenal model negara yang bukan negara sekuler juga buka negara agama, dan Indonesia itu negara Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Itulah kesepakatan kita sebagai bangsa dan akan selalu seperti itu. Konsekuensi itulah yang terus mewarnai Indonesia kontemporer sebagai negara yang dibangun di atas kesepakatan,” tutupnya. (KP/Ink)