Malang, investigais.today – Pada 24 Februari lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan kabar mengenai Danantara yang diluncurkan Presiden Prabowo Subianto di Halaman Istana Kepresidenan. Danantara yang merupakan akronim dari Daya Anagata Nusantara ini mendapat respon beragam dari publik. Banyak media, pakar, juga warganet yang menyuarakan pendapat mereka terkait peluncuran Danantara ini.
Menurut Dr.rer.pol. Wildan Syafitri, S.E., M.E., pakar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya (UB), Danantara pada dasarnya adalah holding untuk mengkoordinasi, juga mengumpulkan dana-dana yang bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tanpa kontribusi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Jadi sebenarnya ini salah satu upaya untuk tidak menggunakan APBN, sumber-sumbernya dari keuntungan BUMN dalam sektor manufaktur, Telkom, kemudian juga beberapa bank yang ikut terlibat,” ujarnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB.
Peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara ini menuai banyak respon masyarakat, terutama terkait keterlibatan bank negara dalam proyek ini.
“Sebenarnya kalau bank itu sudah punya ekosistem perbankan yang pruden. Karena di bank itu ada Capital Education Ratio, bank tidak boleh meminjamkan kredit lebih besar dari rasio yang ditetapkan. Jadi, asalkan itu tetap dijaga ya sebenarnya aman,” kata Wildan.
Dia juga menambahkan bahwa posisi Danantara sebagai lembaga baru akan mendatangkan beberapa keraguan.
“Kepercayaan masyarakat itu penting, juga integritas dari pengelola juga menjadi kunci. Jadi, mereka berintegritas, masyarakat percaya, tentunya banyak investor yang akan tertarik,” kata Wildan.
Menurutnya, pembuktian Danantara ini harus dilakukan melalui proyek-proyeknya yang menguntungkan, tentunya juga cost recovery. “Investasi ini nanti bisa digunakan lebih banyak untuk infrastruktur karena infrastruktur kita kurang. Tapi kalau menurut saya, bukan hanya infrastruktur, tetapi juga investasi sumber daya. Danantara itu juga bisa digunakan untuk berinvestasi kepada SDM (Sumber Daya Manusia) , membiayai beasiswa, penelitian, atau riset. Karena kalau kita ingin investasi kita unggul, alokasi anggaran riset development itu harus tinggi,” ujarnya.
Selain itu Wildan menambahkan pentingnya lembaga pengawas investasi.
“Masyarakat tidak bisa mengawasi sendiri. Bisa Dewan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau lembaga yang sudah ada sekarang misalnya seperti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK),” tuturnya.
Pakar Komunikasi Politik UB, Dr. Verdy Firmantoro, S.I.Kom., M.I.Kom., menyoroti respon negatif masyarakat. Hal ini sangat bisa dipahami karena momentum peluncuran Danantara dianggap kurang tepat.
“Danantara menuai polemik itu karena muncul di saat publik menaruh perhatian tentang korupsi di berbagai instansi, efisiensi anggaran di banyak sektor, termasuk tenaga kerja yang di PHK besar-besaran,” ujar Verdy di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB.
Verdy menyatakan kekhawatiran terkait figur-figur yang ada dibalik Danantara. “Orang-orang di baliknya itu cenderung memiliki relasi kuasa, baik dengan elit politik ataupun elit bisnis,” ungkapnya.
“Kita harus melihat dibalik proyek itu siapa saja, harus dipastikan integritasnya, harus clear. Karena kalau ada konflik kepentingan, maka itu yang akan membuat masyarakat menjadi distrust,” tambahnya.
Keterlibatan publik juga patut digarisbawahi, pengadaan proyek sebesar ini harus melibatkan masyarakat. Menurut Verdy, komunikasi kepada publik yang minim dan terkesan elitis membuat persepsi masyarakat cenderung negatif. Sebaiknya, pemerintah terutama Danantara harus merangkul dan mengajak bahkan mendengar masukan masyarakat.
Partisipasi masyarakat Indonesia untuk mengawasi jalannya Danantara menjadi hal yang penting.
“Jangan sampai niat baik disalahpahami oleh masyarakat. Masyarakat harus dilibatkan dalam konsultasi publik pada saat merumuskan kebijakan. Perlu ada transparansi. Jadi, jangan sampai sebuah kebijakan itu lahir tanpa proses konsultasi publik dan partisipasi dari masyarakat yang utuh,” kata Verdy.
Dia berharap Danantara tidak menjadi alat bancakan korupsi.
“Jika itu terjadi, bukan hanya kepercayaan publik yang hancur, tetapi juga akan menciptakan mega krisis di tengah upaya pemerintah membangun citra dan reputasi. Jadi, orkestrasi komunikasi publik harus dikelola dengan agar terhindar dari blunder dan resistensi. Selain itu, menjaga marwah institusi pengelola dana publik harus menjadi pondasi utama yang tidak bisa ditawar,” kata Verdy. (Sye)