
Jakarta, Investigasi.today – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dianggap memperbaiki posisi negara dalam menyediakan layanan kesehatan.
Aspirasi masyarakat diwujudkan dalam RUU yang sedang menunggu untuk dibahas di sidang paripurna DPR itu.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Gerindra Putisari menyebutkan, Indonesia masih banyak bergantung pada produk kesehatan impor. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2021, sekitar 90 persen bahan baku obat berasal dari luar negeri. Sementara itu, total PDB yang digunakan untuk penelitian dan pengembangan hanya 2 persen. “Ketersediaan tenaga kesehatan di Indonesia juga rendah,” katanya.
Di Indonesia hanya ada 0,42 dokter umum per 1.000 penduduk. Dokter spesialis lebih rendah lagi, yakni 0,12 dokter spesialis per 1.000 penduduk. Karena itu, dia menilai perlu ada transformasi kesehatan yang dipayungi dengan undang-undang. Saat ini dia anggap momen yang tepat untuk merancang UU tentang kesehatan.
“RUU Kesehatan yang dibentuk sekarang mengubah paradigma menjadi pencegahan melalui promotif dan preventif,” ujar Putisari. Selain itu, memperluas layanan kesehatan rujukan ke daerah yang sulit dan perbaikan layanan kesehatan tingkat pertama. “RUU Kesehatan ini berupaya untuk penguatan kefarmasian dan alat kesehatan dengan memperhatikan proses dari hulu sampai hilir,”katanya.
RUU Kesehatan dianggap memfasilitasi penelitian hingga produksi farmasi dan alat kesehatan. “Serta mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri,” imbuhnya.
Anggota Komisi IX dari Fraksi PKS Netty Prasetyani menyampaikan, Indonesia masih rendah dalam akses layanan kesehatan yang berkualitas. Layanan kesehatan dianggapnya semakin bergantung pada teknologi dan akhirnya membuat biaya semakin mahal. “Dengan dibahas di komisi IX, banyak diskusi yang meski belum ideal, tapi sudah ada perbaikan dari draf sebelumnya,” katanya.
Dia mengapresiasi beberapa usulan yang diakomodasi dalam RUU Kesehatan. Misalnya, penghapusan klausul asuransi komersial dalam sistem asuransi komersial. Keputusan itu menghindari multitafsir asuransi komersial jadi substitusi asuransi nasional. “Pemberlakuan syarat yang ketat bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan asing,” tutur Netty.
Persyaratan yang ketat ini antara lain perlunya alih teknologi, batasan waktu, dan kemampuan bahasa Indonesia. Klausul terkait pengadaan tenaga medis asing dengan alasan investasi dihapuskan. Hal itu menjadi perbincangan yang cukup panas di lingkungan organisasi profesi kesehatan. (Slv)