
Jakarta, investigasi.today – KPK melakukan pemetaan potensi korupsi di Bank Pembangunan Daerah (BPD) terkait penyaluran kredit dan penanganan kredit bermasalah. Dalam kajian yang dilakukan Direktorat Monitoring pada 2024 lalu, KPK menemukan adanya enam permasalahan dalam sejumlah kredit atau pembiayaan bermasalah di BPD yang dilakukan sampling.
“Pertama, adanya indikasi fraud dalam penyaluran kredit/pembiayaan bermasalah sebagaimana tercantum dalam POJK No.39/POJK.03/2019,” ujar juru bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu (14/5).
Budi mengatakan, bahwa dari 12 jenis fraud dalam penyaluran kredit atau pembiayaan yang tercantum dalam POJK (Peraturan OJK) tersebut, ditemukan empat jenis fraud yang terjadi pada BPD sampel, pada rentang waktu tahun 2013–2023. Dengan nilai penyaluran kredit sebesar Rp 451,19 miliar.
“[Empat fraud tersebut] yakni side streaming (penggunaan kredit/pembiayaan tidak sesuai peruntukkan), debitur fiktif, debitur topengan, dan rekayasa dokumen dengan nilai total penyaluran kredit atau pembiayaan sebesar Rp 451,19 miliar,” ungkapnya.
Permasalahan kedua yakni key person kredit atau pembiayaan tidak dalam kepengurusan dan/atau bukan pemegang saham pengendali (PSP) perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung.
“Pada tiga BPD yang menjadi sampel, terdapat empat penyaluran kredit macet tahun 2013–2020 dengan nilai total Rp 260 miliar,” ucap Budi.
Permasalahan penyaluran kredit macet itu, lanjut dia, analisis kelayakan pemberian kreditnya lebih menitikberatkan pada profil key person dibandingkan profil perusahaan (debitur). Meskipun key persontersebut bukanlah pengurus dan/atau PSP perusahaan.
Ia menjelaskan, bahwa ketika terdapat permasalahan terhadap key person yang tidak termasuk dalam pengurusan perusahaan, misalnya key person meninggal dunia, debitur justru tidak melanjutkan pembayaran kewajibannya.
“Permasalahan ini terjadi karena sebagian BPD sampel tidak mewajibkan key person masuk dalam kepengurusan dan/atau PSP perusahaan baik langsung maupun tidak langsung,” paparnya.
Permasalahan ketiga, yakni termin pembayaran proyek atau pekerjaan yang tidak diterima bank. Pada lima BPD yang menjadi sampel, Budi mengungkapkan bahwa terdapat sebelas penyaluran kredit atau pembiayaan modal kerja berkolektibilitas macet dalam kurun tahun 2013–2020 dengan nilai total sebesar Rp 72 milliar.
Budi menjelaskan bahwa permasalahan tersebut umumnya terjadi pada pembiayaan di sektor konstruksi yang terjadi dalam tiga bentuk.
“Yakni pengalihan rekening penerimaan pembayaran proyek atau pekerjaan dari rekening BPD ke rekening bank lain tanpa sepengetahuan BPD, termin pembayaran proyek atau pekerjaan yang masuk rekening penampungan tidak diblokir atau dipotong oleh bank, pencairan kredit atau pembiayaan jauh melebihi progres pekerjaan,” bebernya.
Menurutnya, fraud pengalihan rekening pembayaran itu diduga terjadi karena persengkongkolan antara debitur dan perwakilan bouwheer atau bohir. Sementara, dugaan fraud terkait tidak diblokirnya rekening penampungan melibatkan pejabat BPD.
“Di sisi lain, pencairan kredit atau pembiayaan yang jauh melebihi progres dikarenakan sebagian regulasi BPD tidak mewajibkan pencairan fasilitas berdasarkan progres pekerjaan,” tutur Budi.
Masalah keempat, usaha atau debitur tidak feasible atau layak untuk dibiayai. Budi mengungkapkan bahwa pada lima BPD yang menjadi sampel, terdapat enam penyaluran kredit atau pembiayaan modal kerja dengan kolektibilitas macet dalam kurun 2007–2022 dengan nilai mencapai Rp 224,7 milliar.
“Permasalahan ini terjadi karena di antaranya BPD mengabaikan karakter debitur, verifikasi dan validasi usaha tidak dilakukan dengan baik, serta pengabaian atas review risiko dan kepatuhan,” imbuh dia.
Permasalahan kelima yakni jaminan untuk kredit atau pembiayaan yang bermasalah berstatus macet. Budi menyebut, bahwa terdapat jaminan yang bermasalah berstatus macet yang ditemukan pada sejumlah penyaluran kredit atau pembiayaan senilai Rp 234,4 miliar selama kurun 2007–2022.
Budi memaparkan, bentuk-bentuk jaminan bermasalah yang teridentifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni nilai jaminan di bawah nilai pencairan kredit atau pembiayaan, jaminan tidak dimiliki atau dikuasai debitur, dan dokumen kepemilikan agunan tidak dikuasai BPD.
“Kondisi tersebut terjadi diduga dikarenakan tidak dilakukannya penilaian berkala untuk jaminan dan ketidakharusan agunan yang diserahkan ke bank untuk dimiliki debitur atau pihak yang terafiliasi debitur (kekerabatan/kepengurusan),” ucap Budi.
Permasalahan keenam atau terakhir yakni adanya moral hazard atau risiko moral dalam pembayaran kredit multi guna (KMG). Terkait permasalahan ini, Budi menyebut bahwa terdapat penyaluran kredit/pembiayaan multiguna di empat BPD dengan total nilai Rp 20,867 miliar kepada anggota DPRD Provinsi periode 2015–2019 dan 2019–2024 yang saat ini berstatus macet.
Menurut Budi, hal ini disebabkan keengganan anggota DPRD Provinsi untuk melunasi kewajibannya, terutama ketika anggota DPRD tersebut terkena pergantian antar waktu (PAW).
Budi menjelaskan, bahwa PAW yang terjadi akibat kebijakan partai—sepanjang bukan karena keinginan sendiri maupun permasalahan hukum—telah dilakukan mitigasi risiko dengan penggantian dari asuransi. Namun, untuk PAW yang di luar kriteria tersebut, misalnya pengunduran diri karena mencalonkan sebagai kepala atau wakil kepala daerah, tidak dijamin asuransi.
Selain itu, lanjut dia, ditemukan juga bahwa sebagian anggota DPRD tidak melunasi kewajibannya meskipun tidak terkena PAW.
“BPD diduga tidak gencar melakukan penagihan terhadap para anggota DPRD tersebut dikarenakan mereka adalah anggota DPRD Provinsi di mana Pemerintah Provinsi merupakan pemegang saham pengendali BPD,” terang dia.
Sejumlah potensi korupsi tersebut kemudian dibahas oleh KPK bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di Gedung Merah Putih KPK, pada hari ini, Rabu (14/5). Pertemuan itu membahas terkait peningkatan kerja sama program pencegahan korupsi.
Dalam pertemuan tersebut, kata Budi, lembaga antirasuah juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada OJK mengenai tindak lanjut temuan KPK terkait penyaluran kredit dan penanganan kredit bermasalah di BPD tersebut.
“KPK merekomendasikan OJK dan Direktur Utama BPD untuk melakukan pendalaman dan/atau perbaikan berdasarkan kewenangannya, di antaranya meliputi audit atau pendalaman terkait temuan, perbaikan regulasi untuk menutup kelemahan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan, dan pengaturan ruang lingkup diskresi,” ujar Budi.
Rekomendasi juga diberikan KPK kepada stakeholder lainnya. Khusus untuk Direktur Utama BPD, lembaga antirasuah merekomendasikan perlunya untuk mengintensifkan penagihan kredit atau pembiayaan macet kepada anggota DPRD yang menunggak.
KPK juga memberikan rekomendasi kepada Dirjen Bina Keuangan Daerah (BKD) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum terkait termin pembayaran yang tidak diterima BPD.
Secara khusus, lanjut Budi, Dirjen BKD Kemendagri juga diminta agar menginstruksikan Kepala Daerah Provinsi selaku PSP untuk memastikan Direktur Utama BPD menerapkan skema pencairan kredit atau pembiayaan berdasarkan progres pekerjaan.
“Rekomendasi tersebut disesuaikan dengan kewenangan masing-masing pihak untuk menerbitkan surat edaran atau regulasi yang memastikan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan Pemda dan Kementerian Pekerjaan Umum tidak mengubah rekening penampungan pembayaran pekerjaan tanpa sepengetahuan bank sebagai kreditur,” pungkasnya. (Ink)