Surabaya, Investigasi.today – Pakar Pidana Hibnu Nugroho menduga ada pihak yang gerah dengan gencarnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam penanganan korupsi. Sehingga mereka mempersoalkan kewenangan Kejagung dalam penyelidikan perkara korupsi.
“Kayaknya ada yang gerah karena Kejaksaan gencar mengusut perkara korupsi,” kata Hibnu, Kamis (18/5).
Hibnu menilai judicial review (JR) yang dilakukan sejumlah pengacara atas kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan korupsi, adalah hal yang tidak tepat.
“Sejak berdirinya KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), namanya tindak pidana khusus itu Kejaksaan memiliki kewenangan karena makin sulitnya kejahatan,” kata Hibnu.
JR Penghapusan kewenangan kejaksaan dalam penyidikan korupsi, papar Hibnu, bertentangan dengan dinamika pekembangan kejahatan saat ini.
“Makanya jaksa selain menyidik tindak pidana khusus korupsi, juga melakukan penuntutan,” ungkapnya.
Sama seperti KPK yang juga menyidik sekaligus melakukan penuntutan. Hal ini sebagai bentuk asas cepat dalam penanganan korupsi. Dengan semakin banyaknya tindak pidana, kata Ibnu, model asas memisahkan kekuasaan atas penyidikan dan penuntutan umum.
“Di era pidana yang begitu banyak asas kekuasaan ini tidak bisa diterapkan di era seperti sekarang yang kejahatan (korupsi) begitu banyak. Mau tidak mau harus banyak penyidik,” kata dia.
Dalam kondisi sekarang, lanjut dia, justru perlu banyak penyidik korupsi. Dicontohkannya, OJK juga lahir penyidik sendiri.
“Tadinya PPNS, sekarang mereka punya penyidik sendiri. Jadi permohonan itu (JR penghapusan kewenangan jaksa menyidik korupsi tidak pas,” papar Hibnu.
Ditambah lagi, lanjut Hibnu, kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang gencar mengusut perkara korupsi. Mulai dari perkara tambang, asuransi, infrastruktur dan sebagainya. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan juga mencapai 80 persen.
Jika persoalan penyidikan hanya diserahkan ke Kepolisian, menurut Hibnu, hal itu akan sulit.
“Dalam penanganan korupsi, kalau orang Jawa harus keroyokan. Biar cepet Indonesia antikorupsi, sehingga kewenangan Kejaksaan yang sudah diberikan dilanjutkan. Bukan penghalang sistem, tetapi sebagai bentuk asas cepat,” papar pakar pidana Universitas Jenderal Soedirman ini. (Laga)