Menurut Antiek, faktor cuaca yang tidak mendukung berdampak pada kegagalan panen dan belum tiba saatnya untuk produksi lagi.
Kondisi ini mengakibatkan jumlah ketersediaan cabai rawit berkurang, dan permintaan dari pasar tidak dapat terpenuhi.
Akibatnya, kini harga cabai rawit di Surabaya terus mengalami lonjakan.
Kondisi serupa juga terjadi di beberapa daerah lain, seperti Kediri, Pasuruan, Malang, dan Madura, yang merupakan penyuplai utama cabai rawit di Surabaya.
“Langkah dari pemkot kemarin mencari dari daerah sumber penghasilnya dan ternyata harganya sudah mahal dari daerah asalnya,” ujar Antiek yang dilansir Antara, Selasa (31/10).
Kenaikan harga cabai rawit tidak hanya terjadi di Surabaya, melainkan di beberapa daerah lain seperti Situbondo, Kediri, dan Jember.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TIPD) setempat, sedang melakukan perhitungan terkait harga terendah dan tertinggi, serta ketersediaan pasokan cabai rawit di Kota Pahlawan.
Ini menjadi langkah penting untuk mengatasi kenaikan cabai rawit yang signifikan di Surabaya.
Harga cabai rawit di Surabaya rata-rata mencapai Rp 65.000 hingga Rp 70.000 per kilogram. Harga tersebut nampak berada di dua lokasi pasar, yakni Pasar Gresikan dan Tambahrejo.
Pedagang di Pasar Tambahrejo Warinten menjelaskan bahwa mereka menaikkan harga cabai rawit mengikuti harga kulak yang saat ini sekitar Rp 60.000 per kilogram.
Kenaikan harga tersebut disebabkan oleh ketersediaan yang minim di pasaran dan cuaca yang tidak bersahabat.
Pedagang di Pasar Gresikan, Meri Sinta mengatakan bahwa harga cabai rawit pada bulan Oktober mengalami lonjakan signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Saat ini, harga per kilogram komoditas tersebut mencapai Rp 70.000, sementara sebelumnya hanya sekitar Rp 35.000 per kilogram.
Kenaikan harga cabai rawit telah membuat perhatian pemerintah dan pedagang, yang terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi masalah ini. (Laga)