Sunday, December 22, 2024
HomeBerita BaruJatimLawan Kutukan Gaplek Dengan Brand

Lawan Kutukan Gaplek Dengan Brand

Tranggalek, Investigasi.today – Nama Terang Galih, adalah sebuah nama yang lahir dari ide kreatif Bupati Trenggalek Emil Dardak. Oleh Emil, nama Terang Galih kemudian disematkan dan dijadikan brand untuk batik khas Trenggalek.

Terang Galih, adalah langkah awal dari rencana besar sang bupati untuk merubah Trenggalek. Di Trenggalek banyak produk unggulan. Mulai dari produk perkebunan hingga beragam jenis produk UMKM. Tapi malah gaplek yang melekat dan menjadi brend Trenggalek.

Itu tidak disukai Emil. Menurut Emil, brand memiliki magnit dan daya pikat yang luar biasa. Untuk sebuah brand uang bukan masalah. Di Jakarta beberapa bulan yang lalu ribuan orang rela antri bahkan tidur di depan sebuah pusat perbelanjaan menunggu toko itu dibuka keesokan harinya, hanya untuk
mendapatkan sebuah telpon genggam bermerek.

Obat generik yang diluncurkan untuk masyarakat kurang mampu itu mungkin saja karena awalnya tidak dibungkus oleh brand yang bagus. Kalimat
yang menyebutkan bahwa obat itu diperuntukan untuk orang miskin bisa jadi
penyebab obat generik, sampai sekarang belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Kata miskin itu tidak memiliki gengsi. Dan brand itu sendiri adalah gengsi. Kalau mau jujur sejatinya orang yang memburu brand walaupun
dengan harga mahal sebenarnya memang membeli dan memburu gengsi.

Pasien miskin pemegang kartu BPJS, datang berobat ke rumah sakit, tetap berharap dia mendapatkan obat paten. Meski sebenarnya dia sadar jatah obat
untuk dia adalah obat generik. Kenapa ? Karena memang anggapannya sesuatu yang diperuntukan untuk orang miskin pasti kualitasnya rendah. Itulah gambaran betapa dahsyatnya pengaruh sebuah brand. Brand bisa mempengaruhi siapa saja, tua muda, kaya, miskin boleh dibilang hampir tidak berdaya melawan pengaruhnya.

Itulah sekarang yang dilakukan Emil Dardak untuk Trenggalek.Memberi
brand pada semua produk yang ada di Trenggalek. Dan suatu saat nanti orang
tidak lagi menyebut Trenggalek kota gaplek. Mungkin saja nanti orang akan mengingat Trenggalek karena batiknya Sebab sekarang sudah ada Batik Terang
Galih, yang saat ini sudah mampu bersanding sejajar dengan batik batik
terkenal seperti, Batik Keris, Danar Hadi dan juga Parang Kencana.

Selain batik, kopi juga sudah mendapat sentuhan kreatif sang bupati. Kopi
made in Trenggalek ini ditempeli brand Kopi Van Dilem. Nama ini beraroma
Belanda. Tapi menurut Emil itu tidak masalah. Selain nama itu cukup bergengsi, nama itu juga memang ada sejarahnya. Kopi yang sekarang ada di Trenggalek itu adalah tanaman warisan dari orang orang Belanda tempo dulu.

BRAND UNTUK BAMBU

Di Trenggalek saat ini ada banyak pengusaha UKM kerajinan bambu.
Mereka sekarang tengah merana. Salah satu dari mereka adalah pasangan suami istri Sukatno dan Bibit Andayani. Pasutri pemilik UD Bambu Indah Craf, ini merupakan salah satu pengusaha UKM kerajinan bambu terbesar di Trenggalek.

Sukatno dan istri membuka usaha di rumahnya di desa Wonoanti Kecamatan Gandusari kabupaten Trenggalek. Meski disebut sebagai salah satu pengusaha UMKM terbesar di Trengglek, kesan itu tidak tampak. Paling tidak itu terlihat saat 37 wartawan peserta LKTW menyambanginya di rumahnya yang sekaligus dijadikan tempat usaha dua pekan lalu.

Hanya ada enam perajin yang sedang mengerjakan aneka jenis kerajinan bambu mulai dari besek,tempat pakaian serta jaranan kuda lumping.
Jumlahnya pun tidak banyak karena memang pesanan lagi sepi.Meski demikian
perajin yang membantu Sukatno jumlahnya tidak hanya enam perajin. Ada
puluhan perajin lainnya yang tersebar di sekitar desa Wonoanti. Mereka
menyelesaikan pekerjaannya di rumah masing masing. “Kalau sudah selesai dibawa ke sini,” ujar Sukatno.

Meski order agak sepi Sukatno masih optimis usahanya akan maju. Dia membandingkan keadaan pada tahun 1990 hingga awal tahun 2000. Saat itu dia dan istri mengalami cobaan yang sangat berat. Ekspor ke Amerika yang
seharusnya bisa menghasilkan untung eh malah rugi. Belum berhenti sampai
disitu. Pada tahun 1997 ada tawaran ikut pameran juga permintaan ekspor
keranjangan bunga ke Belanda. Tapi nasibnya sama juga dengan pengalaman
pahit waktu ekspor ke Amerika, rugi. “Waktu itu itu saya menangis dan
menjerit sendiri. Perhatian pemerintah terutama Pemda Trenggalek kepada
kami pengusaha kecil masih sangat kurang. Sekarang beda perhatian pak bupati kepada kami besar sekali,” kata Sukatno. Hal itulah yang membuat dirinya optimis meski keadaan lagi susah.

Sukatno menceritakan kenapa ekspornya ke Amerika dan Eropa harus
berakhir dengan rugi. Ceritanya, waktu ekspor ke Amerika dan Eropa itu dia dan istrinya tidak berhubungan langsung dengan pembeli yang ada di Amerika dan Belanda. Melainkan memakai jasa perantara sebuah perusahaan asal Malang.
Perusahaan itulah yang mengurus semua keperluan ekspor. Sementara Sukatno dan istrinya hanya menyiapkan produk yang akan diekspor.
“Belakangan baru kami sadar kalau kami ditipu,” ujar Sukatno.

Soal turunnya omzet penjualan usaha miliknya Sukatno sendiri agak
bingung. Kualitas produk tidak kalah dengan produk kerajinan bambu dari daerah lain. Begitu juga dengan pemasaran, bantuan dari pemda setempat sudah cukup baik. “Kalau ada rencana dari Pak Emil yang akan memberi merek pada produk kerajinan bambu itu baik, dan kami tunggu,” harap Sukatno.
Selama ini lanjut Sukatno, memang belum ada merek khusus yang disematkan untuk kerajinan bambu miliknya.

Jika Sukatno dan teman temannya sesama pengusaha kerajinan bambu di
Trenggalek mengalami masa masa suram, tidak demikian dengan sejawat mereka yang ada di Desa Belaga Kabupaten Gianyar Bali. Di Belaga Gianyar para pengusaha kerajinan berbahan baku bambu banyak menerima permitaan dari luar negeri seperti Jepang dan Eropa.

Jenis kerajinan berbahan baku bambu yang paling diminati dari Gianyar ini adalah perabotan rumah tangga seperti meja, kursi, tempat tidur dan juga
pembatas ruangan.

Keadaan berbeda yang dialami oleh Sukatno di Trenggalek dan sejawatnya di Gianyar Bali, bukan karena produk kerajinan bambu Gianyar lebih baik dari produk sejenis yang dihasilkan oleh Sukatno di Trenggalek. Bahkan para perajin dari Bali pernah melakukan studi banding ke sentra pengembangan kerajinan bambu di Jawa Timur. Studi banding itu untuk meningkatkan wawasan,
kreativitas dan rancang bangun (desain).

Mungkin saja nasib para pengusaha kerajinan bambu di Gianyar di Bangli
dan di sentra kerajinan bambu lain yang ada di Bali, bisa bernasib lebih baik di banding Sukatno di Trenggalek, berkat nama besar Bali. Nama Bali terkenal di seluruh dunia. Bali sebagai kota wisata, kota budaya dan juga kota seni. Itulah
Brand Bali. Sementara di Trenggalek Emil Dardak lagi berjuang keras merubah brand Trenggalek. (yit)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -


Most Popular