Jakarta, Investigasi.today – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mengevaluasi penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil diharapkan bukan sekadar janji. Harus segera dieksekusi secara komprehensif. Tidak hanya TNI, tetapi juga berlaku untuk Polri.
Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan, selama ini praktik dwifungsi itu tidak hanya terjadi di tubuh TNI, tapi juga Polri. Menurut dia, praktik penempatan prajurit TNI-Polri aktif di jabatan sipil banyak dilakukan di pemerintahan Jokowi dan dibiarkan DPR. Salah satunya bisa dilihat dari penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Perpres itu mengatur pelibatan Kemenko Polhukam di BNPB (pasal 13). Juga, mengatur bahwa kepala BNPB dapat dijabat prajurit TNI aktif (pasal 63). ’’Ada juga aturan penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah,’’ kata Arif.
Arif juga menyinggung Presiden Jokowi yang membiarkan Ketua KPK Firli Bahuri menduduki jabatan sipil ketika masih berstatus perwira Polri aktif. ’’Padahal, hal itu jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi penghapusan dwifungsi (ABRI, Red),’’ imbuhnya.
Masyarakat sipil mendesak presiden mengevaluasi sejauh mana mandat reformasi berjalan sebagaimana mestinya. Khususnya terkait penempatan perwira TNI dan Polri aktif di jabatan sipil yang selama ini dilanggengkan. ’’Presiden dan DPR juga harus melakukan revisi terhadap UU 31/1997 tentang Peradilan Militer,’’ tuturnya. Peraturan itu dinilai menghambat pemberlakuan Pasal 65 UU 34/2004 ayat (2) yang menegaskan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono memastikan bahwa instansinya tidak hanya menegakkan hukum. ’’Pembinaan SDM berkualitas menjadi prioritas panglima TNI,’’ ucapnya kemarin.
Selama ini, lanjut dia, TNI menugasi prajurit untuk mengisi posisi di instansi sipil sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pemerintah. Karena itu, rencana Presiden Jokowi untuk mengevaluasi penempatan personel TNI dan Polri di instansi sipil menjadi kewenangan pemerintah dan presiden.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan optimismenya bahwa penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas bakal tuntas. Sebab, TNI juga memproses hukum Kabasarnas dan anak buahnya dengan landasan hukum yang kuat. Yakni, UU Peradilan Militer. ’’Puspom TNI sudah melanjutkan menersangkakan pejabat yang bersangkutan dan sudah ditahan,’’ ujar Mahfud.
Dia sangat yakin proses hukum Kabasarnas dan anak buahnya tuntas lantaran peradilan militer jauh dari intervensi politik. ’’Percaya pada peradilan militer dan kita akan mengawalnya dari luar,’’ terang mantan menteri pertahanan tersebut.
Terkait dengan polemik yang sempat beredar, Mahfud menjelaskan bahwa dalam UU TNI memang tercantum pasal yang menyebut personel TNI aktif bisa diadili lewat peradilan umum bila melakukan tindak pidana yang bersifat umum. ’’Tetapi, ada aturan dalam Pasal 74 ayat 2 UU itu. Di mana disebutkan, sebelum ada UU Peradilan Militer yang baru, yang menggantikan atau menyempurnakan UU Nomor 31 Tahun 1997, itu masih dilakukan oleh peradilan militer,’’ jelasnya. (Slv)