Gresik, investigasi.today – Kegiatan kontra radikal yang digelar Tim Subsatgas Banops Humas Polri. Dengan tema “TERORISME MUSUH KITA BERSAMA”, acara ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan sebuah pengingat bahwa ancaman ekstremisme masih nyata dan terus mengintai, terutama generasi muda. Digelar di Ruang Rupatama SAR Sarja Arya Racana Polres Gresik, Kamis (28/8/2025),
Hadir dalam kegiatan ini sejumlah pejabat penting, dintaranya Kabag Penum Divhumas Mabes Polri Kombespol Erdi A. Chaniago, Wakapolres Gresik Kompol Danu Anindhito Kuncoro, serta perwakilan tokoh agama dari MUI, NU, Muhamadiyah, LDII, FKUB hingga pengasuh pondok pesantren di Gresik.
Namun yang membuat forum ini istimewa adalah kehadiran seorang lelaki sederhana dengan sorot mata tegas: Wildan, S.Kom. Mantan narapidana terorisme asal Pasuruan ini kini dikenal sebagai pegiat kontra radikal. Ia datang bukan sekadar untuk berbicara, melainkan untuk bersaksi menceritakan bagaimana dirinya pernah terjerumus dalam kegelapan dan akhirnya bangkit untuk memperingatkan orang lain.
Dalam sambutannya, Kompol Danu Anindhito menekankan pentingnya kewaspadaan sejak dini.
“Radikalisme adalah ancaman nyata yang dapat merusak Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kita harus memanfaatkan teknologi informasi untuk deteksi dini,” tegasnya.
Pesan itu bukan sekadar peringatan, tetapi juga ajakan agar masyarakat bijak menggunakan media sosial.
Sementara itu, Kombespol Erdi A. Chaniago menambahkan bahwa kaum muda merupakan sasaran empuk kelompok radikal.
“Tujuan kami hadir di sini adalah untuk memberi peringatan. Aksi radikal sangat berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Generasi muda, terutama santri, harus berhati-hati dalam menggunakan media sosial,” katanya, sembari menekankan betapa dunia digital kini menjadi medan baru penyebaran paham teror.
Sesi yang paling ditunggu: kisah Wildan. Ia membuka kembali bab kelam hidupnya. Sejak 2010, ia terjerumus dalam lingkaran kelompok radikal. Tahun 2013, perjalanannya bahkan membawanya jauh hingga ke Mosul, Irak. Di sana ia menjadi sniper sekaligus perakit bom sebuah jalan yang ia sebut sebagai “jalan kematian yang dipoles dengan janji surga.”
Namun pada 2014, ia memilih pulang. “Saya sadar, apa yang saya jalani bukanlah perjuangan, melainkan jalan yang menjerumuskan. Ekstremisme justru banyak menyasar anak muda dengan kondisi rapuh: broken home, haus pengakuan, atau salah dalam memilih pergaulan,” ungkapnya.
Wildan menyebut tanda-tanda awal radikalisasi sering kali sederhana: perubahan sikap, menjauh dari keluarga dan lingkungan, hingga munculnya anggapan bahwa semua orang yang berbeda adalah musuh. “Saat itu terjadi, segeralah waspada. Itu awal jebakan,” pesannya.
Kini, Wildan menjalani kehidupan berbeda. Ia bekerja sebagai barista, menulis buku, dan sering menjadi dosen tamu. Di berbagai forum, ia membagikan pengalamannya agar generasi muda tidak mengulang kesalahannya. “Data UNDP 2019 jelas menunjukkan, radikalisme banyak berakar dari keluarga bermasalah, pemahaman agama yang keliru, dan faktor sosial-ekonomi,” katanya, sembari menegaskan pentingnya peran orang tua dan lingkungan dalam mencegah radikalisasi.
Diskusi semakin hangat saat sejumlah tokoh lokal, seperti Joko Pratomo (Ketua Formagam Gresik) dan Yusuf Ahmad Sabri (Sekretaris PD Muhammadiyah Gresik), menyinggung soal radikalisme di era digital. Wildan pun mengamini bahwa ancaman saat ini memang bergeser ke ruang maya.
“Media sosial kini menjadi pintu utama rekrutmen. Mereka menggunakan akun palsu, menyajikan konten yang tampak baik, namun sesungguhnya menjebak,” jelasnya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kombespol Erdi A. Chaniago. “Hati-hati dengan akun-akun palsu. Jangan mudah percaya, apalagi menyebarkan konten tanpa tahu asal-usulnya. Bijaklah dalam bermedsos,” tegasnya di hadapan para peserta yang didominasi kaum muda.
Kegiatan kontra radikal di Polres Gresik ini meninggalkan pesan, Bahwa melawan radikalisme bukan tugas aparat semata, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa.
Kisah Wildan menjadi bukti nyata: siapa pun bisa terjerumus, tetapi siapa pun juga bisa bangkit dan memberi peringatan bagi yang lain. “Kelompok teroris hanya menunggu waktu yang tepat untuk bangkit. Karena itu, kewaspadaan kita bersama adalah kunci,” pungkasnya. (Ink)