Jakarta, Investigasi.today – Mengakhiri sengkarut perkawinan lintas agama di Indonesia, menurut Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Karlie, tidak cukup melalui SEMA 2/2023. Meski surat edaran itu sejatinya cukup positif. Khususnya untuk supremasi UU 1/1974 tentang Perkawinan.
UU menyatakan, perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya.
Hanya, Tholabi menyebutkan, surat edaran itu tidak berarti mengakhiri praktik pernikahan beda agama. Menurut dia, ruang perkawinan beda agama masih tetap tersedia dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) di UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif.
”Realitas ini harus diselesaikan melalui harmonisasi antarnorma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, SEMA saja tidak cukup,” kata wakil rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Pertentangan antarnorma di UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi keduanya. Langkah tersebut diyakini akan mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama.
Tholabi menjelaskan, dalam kenyataannya terdapat ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan hukum administrasi, termasuk putusan hakim terdahulu. ”Ambiguitas ini harus dituntaskan dengan tetap berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM yang khas Indonesia,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Dekan I Fakultas Syariah UIN Sunan Maulana Hasanuddin Banten M. Ishom el-Saha mengatakan, ada sejumlah alasan penolakan kawin atau nikah beda agama. ”Di antaranya, terdapat larangan kawin yang dianut di semua agama di Indonesia,” jelasnya. Bukan hanya Islam, semua agama melarang perkawinan antara calon suami dan istri yang berbeda agama dan keyakinan.
Karena itu, ketika akhir-akhir ini sering lahir penetapan pencatatan perkawinan pasangan beda agama dari pengadilan, langsung menjadi sorotan masyarakat luas.
Ishom menambahkan, di tengah-tengah masyarakat masih terdapat hukum perkawinan yang hidup seperti hukum agama dan hukum adat. Bahkan, di dalam hukum formal juga terdapat aturan hukum lain yang pluralistis selain UU Perkawinan. Di antaranya UU 23/2006 tentang Adminduk. Salah satu pasalnya, yaitu pasal 34, mengatur juga hukum pencatatan perkawinan dan bahkan memberikan jalan keluar secara eksplisit perkawinan antarumat yang berbeda agama. (Slv)