JAKARTA, investigasi.today – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melaporkan pelanggaran etik Ketua Bawaslu RI, Abhan, dan anggota Bawaslu RI, Mochamad Affifudin, ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hari Rabu 23 Mei 2018.
Pelapor kasus ini adalah Sekjen Raja Juli Antoni dan Wasekjen Satia Chandra Wiguna melalui perwakilan Jangkar Solidaritas (Jaringan Advokasi Rakyat Partai Solidaritas Indonesia).
Dalam laporan, PSI menduga Abhan telah melakukan pelanggaran etik dengan melakukan tindakan melebihi batas kewenangan yang diberikan oleh UU. Bawaslu mengeluarkan press release yang tidak etis di mana Abhan dan Mochammad Afifuddin meminta pihak kepolisian untuk segera menetapkan Sekjen PSI dan Wakil Sekjen PSI sebagai tersangka, sedangkan proses penyidikan saja belum dimulai.
“Tindakan Bawaslu meminta pihak Kepolisian untuk menetapkan Sekjen PSI dan Wakil Sekjen PSI sebagai tersangka adalah tindakan melampau batas kewenangan Bawaslu,” kata Koordinator Jangkar, Kamaruddin, dalam siaran pers, Rabu 23 Mei 2018.
Kedua, Bawaslu melaporkan PSI ke Bareskrim Polri dengan menggunakan peraturan yang dibuat setelah kasus PSI diproses di Bawaslu.
Frasa “citra diri” pasal 1 angka 35 UU No 7/2017 tidak memiliki penjelasan yang definitif dalam UU tersebut. Tidak ada pula penjelasan detail mengenai frasa itu dalam hirarki perundangan. Belum ada PKPU dan Peraturan Bawaslu yang menjelaskan secara detail dan pasti makna frasa “citra diri”. Namun Bawaslu melaporkan PSI ke Bareskrim Polri dengan pemaknaan frasa citra diri yang diputuskan hanya oleh kesepakatan rapat gugus tugas (KPU, KPI, Dewan Pers, dan Bawaslu) yang bukan merupakan bagian dari hirarki perundang-undangan di Indonesia
“Ironisnya, pengumuman polling PSI yang dimuat di Jawa Pos pada 23 April 2018, yang menjadi dasar pelaporan tersebut didasarkan kepada definisi citra diri yang baru diumumkan ke publik 24 hari setelah materi PSI dimuat di Jawa Pos, yakni pada 16 Mei 2018” lanjut Kamaruddin.
Ketiga, Anggota Bawaslu Afifuddin bertindak inkonsisten sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran etika dan profesionalisme.
“Pada 15 Mei 2018 di suatu media online (kompas.com) Mochammad Afifuddin menyatakan bahwa sanksi yang akan diberikan kepada yang melanggar berkenaan dengan definisi “citra diri” adalah berupa peringatan. Namun dalam kasus PSI, Bawaslu sama sekali tidak pernah memberikan sanksi peringatan. Bahkan Bawaslu langsung membawa kasus PSI ke Bareskrim Polri,” ujar Kamaruddin.
Toni, sapaan akrab Raja Juli Antoni, menambahkan, “Hal-hal itulah yang membuat kami yakin ada pelanggaran etik yang dilakukan Saudara Abhan dan Saudara Affifudin. Karena itu kami ke DKPP untuk melaporkannya.”
Ada sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP No 2/2017 yang dilanggar. Misalnya, Pasal 8 yang meminta Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak netral terhadap partai politik, calon, pasangan calon, dan atau peserta Pemilu; menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain; tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang terjadi dalam proses Pemilu.
“Laporan ini kami harus tempuh mengingat betapa pentingnya peran Bawaslu dalam penyelenggaraan Pemilu. Jika para komisionernya melakukan kesalahan, akan menurunkan kualitas pemilu secara khusus dan demokrasi Indonesia secara umum,” kata Toni. (*/Salvado)