Jakarta, investigasi.today – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024 mengakibatkan biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayar setiap jamaah dan subsidi haji yang dibayarkan pemerintah ikut terdampak.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (9/9) malam, menjelaskan biaya perjalanan ibadah haji (bipih) dan subsidi tersebut terdampak karena pembagian 20.000 kuota haji tambahan dari Pemerintah Arab Saudi pada 1445 Hijriah/2024 Masehi yang seharusnya dibagi 92 persen (haji reguler) berbanding 8 persen (haji khusus), tetapi dibagi menjadi 50 persen berbanding 50 persen.
Asep menjelaskan komponen biaya haji atau biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) terdiri atas bipih dan subsidi pemerintah yang diputuskan dalam rapat DPR RI bersama pemerintah.
Misalnya, untuk tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, BPIH rata-rata setiap jamaah sebesar Rp93.410.286. Sementara setiap jamaah membayar 60 persennya atau sekitar Rp56.046.172, sedangkan 40 persen merupakan subsidi pemerintah dari nilai manfaat keuangan haji sebesar Rp37.364.114
“Dari mana tambahan yang 40 persen? Nah, itulah dari uang yang dikumpulkan dari jamaah haji, kemudian dikelola BPKH atau Badan Pengelola Keuangan Haji, kemudian nanti hasilnya atau keuntungan dari pengelolaan itu digunakan lagi untuk kepentingan-kepentingan jamaah haji, termasuk untuk membayar kekurangan BPIH atau subsidi tadi,” kata Asep.
Namun, pembagian kuota haji tambahan tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang kemudian diduga terjadi korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, membuat pemerintah kehilangan pengelolaan dana manfaat untuk subsidi BPIH dari 8.400 jamaah reguler.
“Nah, menjadi berkurang uang ini karena yang seharusnya dikelola pemerintah ada 18.400 haji reguler, kemudian hanya menjadi 10.000 haji reguler karena yang 8.400-nya dialihkan menjadi kuota haji khusus,” jelasnya.
Terlebih, kata Asep, subsidi biaya haji bergantung pada pengelolaan setoran awal haji per calon jamaah yang sebesar Rp25 juta.
“Kalau di sini kan waktu tunggunya haji yang reguler itu bisa sampai 20 tahun lebih. Jadi, negara memiliki kesempatan untuk mengelola uang haji itu selama hampir 20 tahun sehingga keuntungannya bisa lebih besar,” katanya.
Berbeda dengan haji reguler, haji khusus memiliki masa waktu pengelolaan yang lebih sebentar karena masa tunggu keberangkatan tidak mencapai 20 tahun, bahkan ada yang membayar dan berangkat pada tahun yang sama.
“Tidak ada uang yang dikelola karena langsung digunakan. Jadi, hanya masuk, terus keluar lagi untuk digunakan. Nah, di situlah ada kerugiannya,” jelasnya.
Ia melanjutkan, “Dengan demikian, negara tidak bisa mengelola uang yang dari para jamaah haji untuk kepentingan jamaah juga. Tadi, untuk menambah kekurangannya yang 40 persen.”
Padahal, nilai manfaat keuangan haji juga dapat digunakan untuk perbaikan tata kelola haji di Arab Saudi.
“Mulai dari penginapan, kemudian juga katering, kemudian juga transportasi, dan lain-lainnya. Nah, kalau dikelola sama BPKH untuk yang haji reguler ini, maka nanti keuntungan-keuntungan itu akan digunakan untuk perbaikan di sana,” katanya.
Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023–2024, yakni pada 9 Agustus 2025.
Pengumuman dilakukan KPK setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.
Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih, dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Titik poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler. (Ink)