
Jakarta, investigasi.today – Jika dilihat dari daftar sejumlah orang yang dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Merdeka, gambaran koalisi pendukung pemerintah dan oposisi sudah mulai bisa tergambar. Gerindra berbalik arah jadi pendukung pemerintah, kini hanya tinggal PKS, Partai Demokrat dan PAN yang tetap berada di luar pemerintah.
Sebelumnya PAN dan Partai Demokrat sempat diprediksi bakal bergabung ke kubu pemerintah. Bahkan Partai Demokrat sempat yakin wakil ketuanya Agus Harimurti Yudhoyono bakal menjadi menteri dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Usai pelantikan Jokowi di gedung DPR/MPR pada Minggu (20/10) lalu, Sekjen Demokrat, Hinca Pandjaitan mengatakan “saya membayangkan tadi dia (Jokowi) sudah punya nama, mungkin kalau dia butuh anak-anak muda yang kalau soal kecepatan ya saya tidak ragu untuk menyebut nama Mas AHY sebagai tokoh muda yang tampil itu,” ucapnya saat itu.
Kemudian partai ini menyatakan akan bersikap kritis terhadap pemerintah setelah dua hari Jokowi memanggil para calon menterinya ke Istana Negara, tapi tidak ada satu pun di antaranya yang merupakan kader Partai Demokrat.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR, Edhie Baskoro Yudhoyono menyampaikan “kita berharap semua yang diperjuangkan sesuai aspirasi kepentingan masyarakat benar-benar ditampung dan dijalankan dalam bentuk program kemasyarakatan. Kami akan berlaku kritis ketika program-program atau kebijakan itu mungkin masih dirasakan belum sesuai dengan masyarakat. Yang penting negara adil, rakyat sejahtera,” ungkap putra bungsu SBY, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/10) kemarin.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPP PAN Yandri Susanto setelah tidak ada kadernya yang dipanggil untuk jadi calon menteri. Ia menegaskan bahwa PAN mengambil posisi sebagai partai non-pemerintah.
“Menurut saya, kata oposisi itu kurang pas, tapi kalau kita di luar pemerintah dan mengontrol bagian dari penyeimbang. Atau memberikan kritik saran, agak berbeda dengan yang di dalam pemerintah itu mungkin bisa,” ungkapnya.
Yandri menambahkan di Pilkada 2020 nanti, ada kemungkinan PAN tetap berkoalisi dengan partai kubu pemerintah. Sehingga, pengertian oposisi yang harus berlawanan dari jajaran atas hingga bawah tak sesuai untuk keadaan saat ini.
“Kalau oposisi seperti di luar negeri, semua akan berbeda tidak akan sejalan. Tidak akan sepanggung, semeja. Tapi di Indonesia belum ada rumusnya, karena bisa jadi di pilkada nanti kami tidak bareng dengan PKS, tapi bareng dengan PDIP,” jelanya.
Lain halnya dengan PKS, sejak Pilpres 2019 berakhir partai ini sudah dengan tegas menyatakan diri sebagai oposisi. Bahkan Presiden PKS Sohibul Iman menolak bertemu Jokowi di Istana Negara sebelum kabinet terbentuk.
Saat itu, dengan tegas Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera mengatakan “kami di luar dan kami kritis,” tegasnya, Jumat (18/10) lalu.
Menurut Mardani, pola pendukung pemerintah dan oposisi di Indonesia tidak ajeg. Sekarang menjadi koalisi, bisa saja beberapa bulan ke depan balik arah sebagai oposisi.
“Di Indonesia, koalisi oposisi itu cair. boleh jadi sekarang kelihatannya semuanya masuk koalisi, tetapi 3-6 bulan ke depan ketika koalisi gemuk ini tidak terkelola dengan baik, peluang satu per satu pindah ke oposisi juga ada,” ungkapnya. (Ink)