
Maluku, Investigasi.today – Sejumlah pihak merasa khawatir pasca kerusuhan di Pulau Haruku, Maluku Tengah. Bentrokan antar warga yang menewaskan dua orang dan melukai tiga lainnya itu juga menghanguskan puluhan rumah.
Maluku memang memiliki riwayat konflik yang menjadi noda hitam dalam sejarah. Pada 1999 silam kerusuhan sebelumnya terjadi karena ketidakstabilan perekonomian nasional pada saat itu. Namun, konflik bermuatan politik itu merambat dan melebar ke konflik antar golongan.
Terkait kerusuhan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku mengimbau seluruh masyarakat Maluku dapat menahan diri dan tidak terprovokasi dengan adanya bentrokan di Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, Rabu (26/1).
saat menghadiri rapat di kantor Gubernur Maluku,
Sekretaris MUI Maluku, Abdul Manan Latuconsina menegaskan bahwa bentrokan antara dua desa bertetangga di wilayah itu bukanlah konflik SARA maupun konflik agama.
“Pertama kami ingin menyampaikan bahwa konflik yang terjadi di Ori Pelauw, Kariuw bukanlah konflik SARA atau konflik agama,” tegasnya
“Kami berharap teman-teman media menyampaikan hal ini secara luas, sehingga masyarakat Maluku tidak terprovokasi,” lanjut Manan.
MUI Maluku secara institusi sangat menyesalkan dan menyayangkan terjadinya insiden tersebut dan meminta kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk aparat keamanan membantu mengamankan situasi yang terjadi di wilayah Maluku khususnya di Pulau Haruku agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
“MUI secara kelembagaan siap untuk membantu pemerintah dan aparat keamanan menciptakan stabilitas keamanan di Kariu Pelauw dan sekitarnya karena itu setelah mendengar apa yang terjadi di sana kami langsung menghubungi tokoh-tokoh yang berkompeten para imam, tokoh-tokoh masyarakat agar bisa menahan diri,” jelasnya.
Manan menuturkan, Maluku pernah memiliki pengalaman konflik kemanusiaaan yang panjang dan semua orang Maluku telah belajar dari pengalaman tersebut. Untuk itu, semua elemen masyarakat di Maluku harus dapat bersatu dan melawan berbagai bentuk provokasi di tengah-tengah masyaakat.
“Masyarakat harus bisa menahan diri tidak melakukan lagi hal-hal yang dapat mencederai perdamaian dan kedamaian karena kita punya pengalaman konfilk 1999 itu jangan terulang lagi,” tandasnya.
Karena konflik yang terjadi di Pulau Haruku itu bukan konflik agama, maka seluruh masyarakat Maluku tidak boleh membawa simbol-simbol agama untuk kepentingan apapun dalam konflik yang terjadi di wilayah itu.
“Karena itu maka simbol-simbol agama tidak layak digunakan dalam rangka menggolkan atau memuluskan kepentingan orang-perorang atau kelompok yang ada di sana,” tegasnya.
“Sekali lagi kami menegaskan bahwa karena bukan konflik agama maka tidak boleh ada satu pun umat berhak mengatasnamakan agama untuk melakukan hal-hal yang mencederai nilai-nilai agama itu sendiri,” imbuhnya.
Untuk diketahui, bentrok antara dua desa bertetangga di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah pecah pada Rabu (26/1).
Bentrokan yang diduga dipicu oleh masalah sengketa lahan itu menyebabkan sebagian rumah warga di Desa Kariuw hangus dibakar massa. Bentrokan juga menyebabkan dua warga meninggal dunia dan tiga warga lainnya terluka.
Untuk mencegah bentrok terus berlanjut, aparat TNI Polri kini telah diterjunkan ke wilayah itu guna menyekat perbatasan kedua desa. (gm)