Jakarta, Investigasi.today – Pemilu 2024Â tinggal hitungan hari. Tidak lebih dari 100 hari lagi. Menjelang hari kontestasi itu para calon legislatif (caleg) berupaya menyosialisasikan dirinya kepada publik yang menjadi pemilihnya di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Ada banyak cara untuk berkampanye atau bersosialisasi. Mulai dari memasang alat peraga kampanye (APK) di setiap sisi daerah atau kota yang bisa menarik perhatian masyarakat, hadir di tengah masyarakat dalam konteks sebagai donatur, sponsorhip, dan lain sebagainya.
“Cara seperti itu sah-sah saja. Itu memang diatur dalam regulasi. Caleg yang menggunakan cara itu tidak masalah,” ungkap Ketua DPRD Sumbar Supardi mengawali pembicaraan, Rabu (8/11) malam.
Supardi berpendapat, pentas pemilu hadir sekali lima tahun. Pentas itu menjadi kesempatan bagi siapa saja untuk tampil di tengah masyarakat. Tampil sebagai tokoh, tampil untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, atau hanya sekadar menebar “jala” demi suara pada hari pemilihan.
Padahal, menurut politikus Partai Gerindra itu bukan sekadar muncul di daerah pemilihan menjelang pemilu saja. Bahkan memajang alat peraga kampanye hampir di setiap sudut kota.
Cara itu mungkin dilakukan bagi politikus pendatang baru yang belum dikenal masyarakat. Kalau yang sudah pernah “bertanding” dan duduk di legislatif cara-cara seperti itu bukan lagi momentumnya. “Kalau masih saja memajang alat peraga kampanye secara massif berarti tokoh itu tidak dikenal di dapilnya,” sambung tokoh asal Payakumbuh, Sumbar tersebut.
Sebab, orang-orang terjun ke dunia politik adalah orang yang terpanggil. Terpanggil untuk berjuang bagi masyarakat banyak. Orang yang rela meninggalkan kepentingan pribadinya, orang yang wakafkan waktu, pemikiran, tenaga, dan bahkan hartanya.
Orang-orang politik itu adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya. Artinya tidak lagi memikirkan besok mau makan apa, uang sekolah anak besok bagaimana, dan lain-lain sebagainya. Semua itu sudah selesai. Ruangnya tidak ada di ranah politik. Sementara di politik bukanlah mencari demikian. Melainkan pengabdian, mengabadikan diri, mengeluarkan biaya-biaya untuk membantu masyarakat.
“Jika ada yang berpikir menjadi caleg untuk mengubah nasib, meningkatkan karir, agar dipandang. Itu pemikiran keliru,” ujarnya.
Lebih jauh Supardi berpendapat, seorang politikus sejati mereka hadir di tengah masyarakat tidak lahir menjelang Pemilu saja. Mereka hampir tidak waktu hadir di tengah masyarakat. Mereka mendengar aspirasi rakyat lalu berbuat dan memperjuangkannya.
Bagi tokoh masyarakat yang belum berada di legislatif, mereka bisa saja berpolitik dengan berbuat di tengah masyarakat pada bidang masing-masing. Semua keluh kesah itu disampaikan kepada pemerintah daerah (pemda) atau melalui anggota DPRD setempat agar aspirasi masyarakat itu diperjuangkan. “Politik itu pengabdian, bukan profesi atau jenjang karir untuk mengubah nasib,” tegasnya.
Soal Pemilu 2024 di Sumbar, Supardi sangat optimistis berlangsung dengan lancar dan damai. Masyarakat berbeda pendapat itu sah-sah saja. Itu adalah dinamika politik di tengah masyarakat. Bagi masyarakat yang berbeda pilihan adalah kekayaan dari khasanah demokrasi. Sebab, demokrasi itu menyamakan perbedaan. Berbeda dalam pemikiran tetapi sama dengan tujuan.
Dia menerangkan, ruang-ruang edukasi politik itu sangat banyak di Sumbar. Yaitu di lapau-lapau kopi. Sebab, di Sumbar atau di Minangkabau, lapau (warung, red) bukan sekadar tempat transaksi, tetapi ruang interaksi. Di setiap lapau kopi terdapat sekumpulan orang berkelompok. Mereka di sana berdiskusi dengan beragam isu. Mulai dari keluarga, agama, sosial, hingga politik. Itulah ruang-ruang edukasi politik di Sumbar,” tandasnya. (Slv)