
Jakarta, investigasi.today – Menjawab kontroversi RUU Cipta Tenaga Kerja, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziah mengatakan bahwa tujuan dibuatnya RUU Ciptaker justru menciptakan kesejahteraan dan perlindungan pekerja secara berkelanjutan.
Meski penyusunan draf RUU yang dilakukan pada November – Desember lalu sejak awal telah melibatkan para pihak terkait, seperti kalangan serikat buruh, pengusaha, dan akademisi.
Namun yang terjadi, saat ini kalangan buruh dan pekerja mempersoalkan sejumlah pasal yang dianggap tak berpihak kepada mereka.
Terkait penolakan twrsebut, Ida Fauziah siap mendiskusikannya kembali untuk mencari solusi terbaik terkait berbagai masalah seperti upah minimum, besaran pesangon, waktu kerja, dan seterusnya.
“Kalau sekarang teman-teman itu pada ribut, ya ini dinamika demokrasi saja. Saya tidak tahu apakah ini tidak dianggap sebagai keterbukaan? Kami ada notulensinya kok,” ungkapnya, Senin (24/2).
Terkait beberapa poin yang dikeluhkan banyak pihak, seperti jam kerja yang seolah-olah akan mengeksploitasi para pekerja. Menurut Ida, pasal yang mengatur soal masa kerja 4 jam perlu diberi istirahat 30 menit, tak lain untuk mengakomodasi jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu 8 jam per hari.
“Justru pasal ini untuk melindungi mereka yang ingin bekerja secara fleksibel dengan tetap mendapatkan hak-haknya,” jelas politisi PKB ini.
Demikian juga terkait ketentuan soal upah minimum yang kali ini hanya melibatkan tingkat provinsi dengan merujuk nilai inflasi di daerahnya. Hal itu justru untuk mencegah kesenjangan antar kabupaten/kota. Sebab ketika ada kabupaten/kota di sebuah provinsi menetapkan upah lebih tinggi, akibatnya kemudian si pengusaha memindahkan usaha mereka ke daerah lain yang dinilai lebih murah.
Tentang besaran pesangon yang lebih kecil bagi pegawai yang kena PHK, Ida menyebut hal itu dikompensasi dengan pemberian pelatihan vokasi, dan mendapatkan akses penempatan.
“Selama ini angka pesangon itu tinggi, tapi kan implementasinya tidak setinggi yang di atas kertas. Jadi untuk mengurangi kesenjangan itu, kami ingin memberikan kepastian perlindungan dengan manfaat baru,” terangnya.
Ida juga mengajak kalangan pekerja untuk introspeksi. Sebab berdasarkan survei yang dilakukan Japan External Trade Organization (JETRO) 2019 menunjukkan ketidakpuasan terhadap bisnis di Indonesia itu cukup tinggi 55% dari sejumlah negara di Asia dan Oceania.
“Kenaikan upah yang tinggi tidak berbanding lurus dengan produktivitas, itu yang dilihat oleh mereka. Saya kira ini menjadi catatan kita. Upah boleh tinggi, asalkan sebanding dengan produktivitas,” tandasnya. (Ink)