Monday, December 23, 2024
HomeBerita BaruNasionalKitab Suci adalah Buku Fiksi? (Tanggapan untuk pandangan Rocky Gerung di ILC...

Kitab Suci adalah Buku Fiksi? (Tanggapan untuk pandangan Rocky Gerung di ILC 10 April 2018)


Teks foto ; Joshua Guana Tandjung

Oleh: JOSHUA GUANA TANDJUNG

SURABAYA, investigasi.today – DALAM beberapa waktu yang lalu Pak Prabowo ,memberikan pernyataan didepan public dan kader Partainya, bahwa Indonesia bakal bubar di tahun 2030. Tenyata pernyataan tersebut berasal dari sebuah Novel Fiksi.
Pernyataan tersebut dibahas dalam salah satu episode acara ILC, 10 April 2018 yang lalu.

Dalam acara tersebut, pubik dikejutkan dengan pernyataan Pak Rocky Gerung yang menimbulkan “kegoncangan” para pendengar dan publik, beliau mengatakan bahwa Kitab Suci juga termasuk Buku Fiksi karena juga memuat hal atau memprediksi tentang masa depan.

Para narasumber yang lain, terhenyak tanpa dapat membantah statement Rocky Gerung yang dikenal sebagai Pakar filsafat.

Sekalipun beberapa dari mereka menyatakan keberatan namun tidak ada argument atau sanggahan yang berarti untuk membantah “kebenaran” yang disampaikan oleh Roky bahwa Kitab Suci adalah termasuk buku Fiksi.

Saya terpanggil untuk menanggapi pernyataan – statement Pak Rocky Gerung Benarkah Kitab Suci Agama adalah Buku Fiksi ?

Pernyataan Pak Rocky diawali dengan penjelasan bahwa Fiksi tidak sama dengan Fiktif, yang negatif adalah Fiktif, sedangkan Fiksi tidak berarti memiliki konotasi negatif. Fiksi adalah imaginasi akan masa depan yang belum menjadi realita.

Selanjutnya beliau berargumen, apa salahnya dan dimana salahnya ?
Benarkah Kitab Suci termasuk Kitab Fiksi seperti halnya Novel Fiksi yang menjadi sumber orasi Pak Prabowo tentang prediksi Indonesia bubar di tahun 2030 didepan publik ?

Ada pepatah mengatakan Serupa tapi tak sama, demikian halnya dengan Novel Fiksi dan KItab Suci.
Memang keduanya sama sama berbicara tentang prediksi masa depan, namun keduanya memiliki paradigma yang berbeda.

Yang dilupakan atau yang tidak dipahami oleh Pak Rocky (supaya beliau juga menyadari, bahwa tidak ada manusia yang paham segala sesuatu) yang membuat keduanya berbeda adalah aspek legalitas !

Sebelum kita lanjutkan, saya ingin kita memahami, apa perbedaan Kuasa (Power) dengan Otoritas (Authority) ?

Apabila diamati kedua duanya memiliki Kekuatan / Kuasa, serupa namun keduanya tidak sama. Dimana perbedaannya ?

Seseorang atau lembaga yang memegang otoritas sah akan memiliki atau dberi kuasa, sebaliknya yang memiliki kekuatan / kuasa belum tentu memiliki otoritas sah.

Ketika seseorang atau lembaga atau kelompok memiliki kuasa tanpa otoritas, itulah yang disebut kekuatan yang illegal.
Pemerintah adalah Lembaga yang mewakili Negara, mereka memiliki otoritas karena mewakili dan atas nama Negara yang berdaulat.

Sedangkan Gang mafia / kartel Narkoba, sekalipun memiliki kuasa , bahkan dibeberapa negara memiliki kekuatan yang menyamai Negara, namun status mereka tetap illegal.
Mereka bukan pemerintah resmi, sekalipun mereka memiliki kekuatan dan persenjataan namun status mereka adalah illegal.

Kita lanjutkan….., apa perbedaan Bank dengan Orang yang memiliki banyak uang?

Bank adalah Lembaga yang diresmikan oleh Pemerintah untuk memberikan pinjaman dana kepada masyarakat. Sedangkan orang kaya sekalipun ia memiliki banyak dana, ia tidak otomatis memiliki legalitas melakukan kegiatan peminjaman dana kepada masyarakat.

Kalau seorang yang memiliki banyak dana / uang, meminjamkan uang kepada teman dekatnya secara pribadi, kemungkinan hal itu masih bisa ditolelir, karena sifatnya terbatas dan perorangan.

Namun apabila orang kaya tersebut melakukan pinjaman kepada banyak orang secara massal, maka ia akan terjerat pelanggaran hukum, sekalipun ia melakukan prosedur yang sama dengan yang dilakukan bank.

Apa yang membuat keduanya berbeda ? Asas legalitas !

Demikian halnya dalam dunia hukum pidana, sekalipun ada banyak penjahat yang kejahatannya layak dihukum mati, namun hanya Negara yang berhak mengeksekusi mati para penjahat tersebut bukan orang perorangan.

Jadi apa perbedaan Novel Fiksi dengan Kitab Suci ?

Sekalipun keduanya sama sama menuliskan tentang masa depan, namun keduanya memiliki perbedaan yang prinsipiil.
Sebuah Novel Fiksi ditulis oleh manusia biasa yang tidak memiliki jaminan dan legalitas atas “kebenaran” hasil imaginasi dan prediksinya.

Boleh saja imaginasi dari Novel Fiksi dipercayai secara pribadi, namun tidak boleh disampaikan ke ranah publik sebagai sebuah kebenaran atau acuan yang diyakini, karena ia tidak memiliki legalitas.

Sedangkan kitab suci yang kita percayai adalah Alkitab, ditulis oleh para nabi, mereka tidak menuliskan tentang pendapatnya sendiri, melainkan perkataan SANG MAHA KUASA – TUHAN PENCIPTA SEMESTA ALAM melalui ilham Roh Kudus.

Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.

Dalam Alkitab – Kitab suci, perkataan TUHAN atau Firman-Nya tentang masa depan, memiliki legalitas, karena yang berbicara adalah Pribadi yang memiliki semua Otoritas dan Pemerintahan Kerajaan Sorga sebagai Penjamin atas perkataan-Nya.

Dalam konteks Alkitab yang kita percayai, TUHAN adalah TUHAN yang memegang pemerintahan, artinya Ia memiliki legalitas sah, sehingga semua perkataan-Nya adalah Kebenaran yang dijadikan acuan.

Imaginasi / Fiksi boleh dilakukan siapa saja, namun tidak memiliki jaminan dan asas legalitas, Sedangkan nubuatan dalam Kitab Suci, memiliki Penjamin akan kebenaran- Nya adalah Pribadi-Nya sendiri – TUHAN SEMESTA ALAM.

Sebab manusia bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah itu menjadi suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan.

Karena itu, untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusan-Nya, Allah telah mengikat diri-Nya dengan sumpah, supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta, kita yang mencari perlindungan, beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang terletak di depan kita.

Selain itu TUHAN adalah TUHAN yang Maha Hadir – Omni Present, bukan hanya dimana saja, namun juga kapan saja, baik masa lalu, sekarang maupun masa depan. “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.”

Sehingga TUHAN dalam kemahadiran-Nya ketika Ia berbicara tentang masa depan, Ia tidak sedang berimaginasi, sebab keberadaan dan kehadiran-Nya bukan hanya dimasa sekarang saja, melainkan juga di masa depan. Ia sudah ada di masa depan itu.

Itulah sebabnya istilah yang dipakai dalam kitab suci untuk prediksi masa depan adalah nubuatan.

Sedangkan untuk sebuah Novel dipakai istilah Fiksi sebab penulisnya tidak memiliki kekuatan ataupun legal otoritas yang menjamin kebenaran imaginasinya.

Kesimpulannya :
Tidak seharusnya Pak Prabowo sebagai seorang pemimpin Partai dan Capres menyampaikan ke publik sebuah prediksi Indonesia kedepan yang berasal dari imaginasi dari penulis Novel Fiksi, sebab apa yang ditulis dalam Novel tersebut tidak memiliki asas legalitas dan jaminan kebenaran, sehingga info tersebut tidak layak untuk disebar luaskan ke publik sebagai ajakan apalagi acuan yang diyakini, karena hal ini dapat menyesatkan dan menimbulkan kekacauan.

Ataukah itu yang menjadi motivasi Pak Prabowo menyampaikan orasinya didepan publik, menciptakan kebingungan dan kekacauan serta rasa pesimis ?
Semoga dalam hal ini perkiraan saya keliru. (Ink)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -


Most Popular