Friday, April 19, 2024
HomeBerita BaruHukum & KriminalSalurkan Obat Palsu ke 198 Apotek, PBF PT. JKI Beromzet Rp 400...

Salurkan Obat Palsu ke 198 Apotek, PBF PT. JKI Beromzet Rp 400 Juta Perbulan

Jakarta, Investigasi.today – Dengan modus repackaging, Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT Jaya Karunia Investindo (JKI) mengedarkan obat palsu dan menyalurkannya ke 198 apotek di kawasan Semarang dan Jabodetabek. Tidak hanya mengemas obat generik menjadi obat bermerk sehingga bisa dijual lebih mahal, mereka juga melakukan hal sama pada obat kadaluwarsa.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan telah membekukan izin operasional PBF PT JKI dan merekomendasikan pencabutan izin PBF PT JKI pada Kementerian Kesehatan. Pada 2018, pelaku yang merupakan pemilik PBF PT JKI dan produsen obat palsu juga pernah tersandung kasus yang sama.

Meski repackaging adalah kejahatan yang merugikan masyarakat, namun BPOM tidak bersedia membuka daftar apotek yang disebut masuk dalam kasus distribusi obat palsu Ini.

BPOM hanya memastikan akan menarik produk dari PBF JKI di Jabodetabek, melakukan verifikasi produk dengan produsen obat dan memusnahkan semua produk palsu tersebut serta akan memperketat pengawasan.

Plt. Direktur Pengawasan, Kemananan, Mutu dan Ekspor Impor Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zak Adiktif (ONPPZA) BPOM Rita Endang menyampaikan “apotek adalah korban dari kejahatan seperti ini, makanya tidak perlu nama apoteknya kita share di luar. Sekali lagi, apotek ini merupakan korban, jadi kami tidak mau menyebut namanya,” jelasnya.

Rita menghimbau agar masyarakat tidak perlu cemas menghadapi obat palsu. Namun masyarakat wajib waspada dan sebaiknya memperhatikan detail obat yang akan digunakan, apalagi bagi yang rutin mengonsumsinya.

Masyarakat wajib curiga jika menemukan ada yang tidak wajar pada produk obat. Rita juga yakin masyarakat bisa membedakan keaslian obat, karena yang banyak dipalsukan umumnya untuk terapi jangka panjang misal pada penyakit diabetes.

“Karena dikonsumsi lama, masyarakat bisa tahu detail produknya, misal kerapihan kemasan atau tingkat keruh pada produk obat sirup. Selain itu masyarakat juga bisa cek label, nomer izin edar dan tanggal kadaluwarsa produk. Jika masih curiga bisa ke laboratorium untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kami berharap masyarakat bisa menjadi perpanjangan tangan BPOM dalam pengawasan dengan segera lapor jika produk yang mencurigakan,” jelas Rita.

Sementara itu, Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi dan Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto, mengatakan peluang terulangnya kasus ini selalu ada, karena tiap orang bisa membeli sendiri mesin produksi, cetak, dan teknologi pendukung lain. Produk palsu juga makin terlihat mirip dengan yang asli.

Vincent menambahkan “menghadapi kasus obat palsu seperti saat ini BPOM harusnya bisa lebih peka. Produsen dan PBF harus memberikan laporan tiap 3 bulan yang berisi kepada siapa obat dijual, berapa jumlahnya, harganya, tahapan produksi, dan bahan baku. Laporan harus dibaca dengan cermat sehingga bisa segera tahu jika ada kasus obat palsu,” ungkapnya.

Tidak hanya mengkritisi BPOM, Vincent juga mengkritik pemilik apotek yang seharusnya langsung curiga jika kemasan obat terlihat rusak, atau ada perubahan harga misal lebih rendah dari biasanya.

Vincent menuturkan konsumen kesulitan untuk membedakan obat asli atas bukan, karena semua dianggap sama. Harusnya memang dari jalur distribusi dan BPOM yang pengawasannya bisa lebih peka.

“Meski ada anjuran supaya masyarakat membeli obat yang asli. Namun karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran, sehingga masyarakat seringkali terjebak obat palsu. Rencananya kedepan akan diterapkan QR Code pada obat supaya pengawasan bisa lebih baik,” tandasnya.

Vincent berharap masyarakat lebih peka untuk menghindari terjebak obat palsu. Misalnya langsung curiga jika mendapat harga obat yang berubah dari biasanya, apalagi bila telah rutin mengonsumsinya.

“Masyarakat jangan senang dulu jika harga obat lebih murah karena bisa jadi ada bahan yang dikurangi atau lainnya. Obat seperti ini wajib dicurigai meski kemasan terlihat sama dengan yang asli,” pungkasnya.

Sebelumnya Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dit Tipidter) Bareskrim Polri menangkap pria berinisal AFAP (52) karena memalsukan obat keras generik menjadi obat paten. Pria tersebut diketahui sebagai direktur utama (dirut) PT. Jaya Karunia Invesindo (JKI) yang merupakan pedagang besar farmasi (PBF) yang terdaftar di BPOM RI.

Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Fadil Imran mengatakan, obat-obatan tersebut diproduksi di Semarang, Jawa Tengah. Tersangka AFAP memalsukan obat-obatan dengan cara mengemas ulang obat keras dari generik jadi obat paten nongenerik yang memiliki harga lebih mahal. Kemudian, tersangka mendistribusikan obat palsu tersebut ke 198 apotek yang tersebar di wilayah Semarang dan Jabodetabek.

“Tersangka juga melakukan pemalsuan terhadap tanggal kedaluwarsa, kemasan obat dan kapsul obat,” ungkapnya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/7) lalu.

Fadil menambahkan, AFAP memperoleh bahan baku untuk memalsukan obat dari obat-obatan yang telah kedaluwarsa. Kemudian, tersangka membongkar bahan baku itu dan melakukan rekayasa tanggal kedaluwarsa dan obat palsu serta dipasang stiker palsu.
“Tersangka juga sudah mempersiapkan kemasan sekunder obat seperti alumunium foil, cetakan huruf obat, dus obat serta brosur tata cara untuk pemakaian obat itu, ditambah tanggal kedaluwarsa, hingga hologram palsu agar terlihat asli,” terangnya.

Dalam praktiknya, tersangka mempekerjakan enam orang yang bertugas membeli bahan baku, kemudian mengeluarkan isinya, lalu dikemas ulang. Dari modus tersebut, tersangka mampu meraup untung mencapai Rp400 juta per bulan.
“Setelah obat itu selesai direkayasa, tersangka langsung memasarkan obat itu secara langsung atas nama tersangka,” jelasnya.

Dalam penggerebekan tersebut, petugas menyita sejumlah barang bukti, yakni beberapa alat produksi seperti mesin press kompresor, mesin vacum, mesin capsul printer, bahan pembuat obat, bahan pendukung dan obat siap edar dengan beberapa merk.

Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 196 Jo Pasal 98 (ayat 2 dan 3) dan/atau Pasal 197 Jo Pasal 106 (ayat 1) UU RI Nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan/atau Pasal 62 (ayat 1) Jo Pasal 8 (ayat 1) huruf a dan/atau huruf d UU RI Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. (Ink)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -











Most Popular