Jakarta, Investigasi.today – Kebijakan Pemerintah Indonesia yang kembali membuka keran ekspor pasir laut pada tahun ini rawan memicu polemik. Pasalnya, ekspor pasir laut pernah dilarang di era Megawati Soekarnoputri saat menjadi Presiden RI hingga disebut-sebut kebijakan yang dikeluarkan Jokowi itu hanya akan menguntungkan Singapura.
Untuk diketahui, ekspor pasir laut secara resmi diizinkan kembali seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang diterbitkan Presiden Joko Widodo. Dalam Pasal 9 Ayat (2) huruf D menyebutkan bahwa ekspor diperbolehkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tak hanya itu, dalam Pasal 6 Jokowi juga memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan alasan untuk mengendalikan hasil sedimentasi laut. Adapun sarana yang diperbolehkan untuk membersihkan sedimentasi itu menggunakan kapal isap.
Dalam aturannya, Jokowi menyebut agar kapal isap yang melakukan pembersihan harus berbendera Indonesia. Namun, jika tersedia maka diizinkan untuk dibersihkan oleh kapal isap asing.
Nantinya, hasil sedimentasi laut yang telah diambil bisa dimanfaatkan untuk sejumlah keperluan. Meliputi, reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan atau ekspor.
Meski demikian, hanya perusahaan yang mendapat izin dari Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) atau Gubernur yang berhak melakukan pengerukan terhadap hasil sedimentasi laut itu.
“Pelaku usaha yang memiliki izin pemanfaatan pasir laut wajib membayar PNBP,” katanya Jokowi seperti dikutip dari aturan tersebut, Jumat (2/6).
Sementara itu, 20 tahun yang lalu sebelum Jokowi menerbitkan PP Nomor 26 Tahun 2023, ekspor pasir laut pernah dihentikan pada era Presiden Megawati tepatnya pada tahun 2003.
Melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut yang diteken Menteri Perindustrian saat itu, yakni Rini Sumarno pada tanggal 25 Februari 2003.
Dalam keputusan itu disebutkan bahwa penghentian ekspor pasir laut akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisi dan pulau-pulau kecil serta adanya penyelesaian penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura.
Di sisi lain, mengutip South China Morning Post menulis laporan berjudul “Singapura mujur usai Indonesia cabut larangan ekspor pasir laut yang berlangsung 20 tahun”. Dalam laporannya, media asing ini menyebut pencabutan larangan ekspor pasir laut selama 20 tahun dapat membantu proyek perluasan lahan di Singapura.
Meski demikian, pencabutan larangan itu memicu kekhawatiran di kalangan pencinta lingkungan tentang habitat laut. Sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 dan 2002.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2019, Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia dan dalam dua dekade sebelumnya telah mengirimkan 517 juta ton pasir dari negara tetangganya. Sementara itu, Malaysia telah melarang ekspor pasir laut pada 2019, padahal Malaysia merupakan pemasok terbesar Singapura. (Slv/*)