Gresik, Investigasi.today – Penyidik Satuan Polisi Air (Polair) Polres Gresik menetapkan Ifan Suparno, nakhoda kapal yang menemukan guci diduga pada zaman Dinasti Ming itu sebagai tersangka.
Namun, penetapan nakhoda yang juga pemilik perahu asal Blimbing, Lamongan sebagai tersangka tunggal itu bukan karena menemukan guci kuno bernilai sejarah itu, tapi karena menggunakan perahu cantrang.
Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 melarang penggunaan cantrang untuk menangkap ikan.
Kasat Polair Polres Gresik AKP Poerlaksono melalui Kepala Unit Gakkum Aiptu Hajar Widagdo mengatakan
“yang bersangkutan kami tetapkan sebagai tersangka karena menggunakan perahu cantrang,” ungkapnya, Jumat (13/8).
Hajar menambahkan karena sudah tahap dua, berkas penyidikan tersangka juga telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Gresik. “Sedangkan anak buah perahu kami jadikan saksi, karena mereka hanya di upah oleh nakhoda dan pemilik kapal,” jelasnya.
Tahap dua adalah pelimpahan tersangka dan barang bukti setelah Jaksa peneliti menetapkan berkas penyidikan lengkap atau P 21.
Dengan pelimpahan tahap dua ini, menjadi sejarah baru dalam penegakan hukum untuk penggunaan alat penangkap ikan menggunakan jaring cantrang di Gresik.
Terpisah, Ketua Advokasi Kerukunan Nelayan Bawean (KNB), Baharudin mengapresiasi Polair Polres Gresik yang telah menetapkan penggunaan cantrang ke meja hijau. “Pembelajaran bagi nelayan cantrang agar memahami kearifan lokal dan berempati kepada nelayan lokal,” tandasnya.
Untuk diketahui, pegiat lingkungan di Pulau Bawean dihebohkan dengan temuan guci ornamen gambar Naga yang diduga dari Dinasti Ming diperairan Barat Pulau Bawean.
Ketua Bidang Pengembangan Sumberdaya Laut dari Perkumpulan Peduli Konservasi Bawean Abd. Saddam Mujib menyatakan, guci namanya martaban jar atau storage jar diduga berasal dari Tiongkok. “Kebanyakan dari masa Dinasti Qing dan Ming. Tapi banyak juga yang kayak gini produksi Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam,” ungkap Saddam.
Terkait penemuan tersebut, Nia Naelul Hasanah Ridwan, peneliti Arkeologi Maritim KKP, dan Kepala Loka Riset Sumber Daya dan Kerentana Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan penemuan tinggalan arkeologis berupa guci-guci gerabah (Earthenware Storage Jar) atau yang disebut juga sebagai “Martaban” dari bawah laut oleh nelayan Pulau Bawean pada Juni 2021 merupakan bukti fisik arkeologis yang memperkuat narasi tentang peran penting Pulau Bawean di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur dalam sejarah maritim Nusantara.
“Guci-guci gerabah atau tembikar yang berglasir kuning kecoklatan, mempunyai pegangan (loop handles) di bagian bahu, dan mempunyai motif dekorasi berupa naga tersebut kemungkinan berasal dari masa Dinasti Ming (1368-1644 M) yang berkuasa setelah masa keruntuhan Dinasti Yuan (1271-1368),” terangnya.
Nia menambahkan, Guci gerabah dengan bentuk dan model seperti yang ditemukan di perairan Pulau Bawean ini umum diproduksi di sejumlah Kiln di wilayah Southern China seperti Guangdong dan masih dapat ditemukan hingga masa Dinasti Qing (1644–1912 M).
“Guci Martaban umum digunakan dalam transportasi barang dalam perdagangan dengan China, negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Burma, Kamboja dan kerajaan-kerajaan yang berada di Nusantara,” jelasnya. (Slv)