Thursday, March 28, 2024
HomeBerita BaruJatimMengkilapnya Sepatu, Tak Semanis Cuan Siwalan

Mengkilapnya Sepatu, Tak Semanis Cuan Siwalan


Teks foto ; Umi Ana saat beraktivitas

Bisnis siwalan enggan dilakoni anak muda lantaran gengsi. Padahal, bermodal tenaga lansia saja, pendapatannya tidak kalah dengan gaji Kepala Dinas di Pemerintah Daerah ataupun Manager di Perusahaan prestisius.

OLEH: ERLANGGA W.

GRESIK, Investigasi.Today – Adalah Abah Ponnadhir (57) dan Umi Ana (55) asal Desa Hendrosari, Kec. Menganti, Kab. Gresik. Keduanya memang tidak mengenal semir sepatu, yang mereka tau hanyalah caluk (pisau besar).

Hanya beralaskan sandal jepit, usai Shalat Subuh, Abah Ponnadhir menyusuri pematang tambak. Memanjat satu per satu pohon siwalan miliknya.

Dengan telaten mengambil bambu berisi legen yang dia pasang kemarin, untuk dipanen isinya dan kemudian dicuci. Setelah memasangnya kembali, Abah Ponnadhir mengecek satu per satu buah siwalan di pohon yang sama. Jika dianggap cukup masak, dia potong dan turunkan dengan menggunakan seutas tali tampar.

Kini dia sudah tak selincah dulu lagi, semasa muda. Sekarang harus super hati-hati untuk memanjat pohon siwalan yang setinggi pohon nyiur. Membuatnya semakin rumit karena batangnya lebih besar dari pohon kelapa. Jika dulu bisa belasan pohon sehari, sekarang untuk memanjat enam pohon saja harus dengan kebugaran dan kesehatan full power.

Hasil panennya, tak mampu ia bawa sendiri. Umi Ana dengan setia membantunya membawa pulang.

Sesampainya di rumah, pukul 06.00 WIB. pembeli sudah antre menunggu. Di saat sang istri melayani pembeli hasil panennya, Abah Ponnadhir melanjutkan rutinitasnya untuk Shalat Dhuha di mushola yang cukup besar dan mewah. Ornamennya dilengkapi dengan beberapa ukiran yang membuat “rumah Allah” tersebut semakin indah.

“Ini kita bangun dengan hasil jualan legen dan siwalan,” ujar Umi Ana seraya mengupas satu persatu buah siwalan. “Kita naik haji juga hasil dari siwalan,” imbuhnya.

Dari usaha yang dia tekuni sejak tahun 1994 itu juga bisa membiayai keempat anaknya lulus Sarjana. Bahkan ketiga anaknya sekarang menjadi guru, seorang lagi bidan di daerahnya.

Ia mengaku terpaksa melakoni bisnis ini meski tenaganya tak lagi sekuat dulu. Karena keempat anaknya enggan meneruskan bisnis ini dengan alasan gengsi.

“Kita memang tidak pakai sepatu pantofel yang mengkilap, kita juga tidak mengenakan seragam yang membuat kita terkesan wibawa. Tapi penghasilan dari usaha siwalan ini sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan gaji keempat anak saya,” terang Umi Ana seraya tertawa.

Bagaimana tidak, hanya dengan tenaga seorang lelaki berusia 57 tahun untuk memanjat, keduanya bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp20 juta per bulan. Bayangkan jika bisa memanjat pohon lebih banyak lagi seperti saat muda dulu.


Teks foto ; Umi Ana dan pembeli yang antri mendapatkan buah siwalan

Dari enam pohon tiap harinya, mereka bisa mendapatkan 25 botol legen berisi 1,5 liter per botol. Sedangkan harga per botol Rp15.000. “Setidaknya Rp325.000 kita kantongi dari penjualan legen saja,” ujar Umi Ana.

Legen asli yang mereka jual sangat diminati oleh para pembeli, selain rasanya yang nikmat. Legen asli juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Untuk buah siwalan dia bisa memperoleh berkisar 50 kantong. Harganya Rp8.000 per kantong. Satu kantong berisi 10 biji. Sedangkan satu buah siwalan berisi 3 biji.

Total pendapatan yang mereka kantongi per harinya dari enam pohon siwalan sekitar Rp725.000. Jika dikalikan 30 hari, dalam sebulan mereka memperoleh Rp21.750.000. Padahal mereka memiliki ratusan pohon yang tidak bisa dipanen karena keterbatasan tenaga.

“Alhamdulillah di usia tua ini kami masih bisa menabung dan beramal,” tambah Umi Ana.

Harga siwalan yang mereka jual memang di bawah harga pasar. Karena memang banyak penjual siwalan yang kulakan ke mereka. Karena itu pula, jam 09.00 saja, hasil panennya sudah ludes terjual.

“Apalagi saat puasa, kita kewalahan memenuhi pesanan. Untuk hari Sabtu, pembeli biasanya harus pesan di hari Selasa. Jika tidak, mereka tidak kebagian,” ungkapnya.

Selanjutnya kedua pasutri ini melanjutkan rutinitas rumah tangga. Dan istirahat saat siang hari. “Kita juga bisa momong cucu,” terangnya.

Aktifitas memanen siwalan mereka lanjutkan sore hari. Tapi panen sore, menurut Umi Ana tidak sebanyak saat panen pagi. Dari 25 botol yang kita peroleh dalam sehari itu, 20 diantaranya hasil panen pagi, sedangkan lima sisanya dari panen sore,” jelasnya.

Sementara itu, dari ratusan pohon miliknya, sebagian besar merupakan warisan dari kakek-neneknya. Karena pohon siwalan baru bisa dipanen saat usia sekitar 40 tahun. “Siwalan yang saya tanam berusia sekitar 30 tahun, itu belum bisa dipanen,” tandasnya.

Umi Ana menyayangkan karena anak-anaknya tidak ada yang berminat meneruskan usahanya, hanya karena alasan gengsi. Ia juga pernah memiliki pekerja untuk memanjat pohon, tapi lagi-lagi karena gengsi, pekerjanya tidak kerasan.

“Tidak gampang mencari pekerja yang mau membantu kami memanen siwalan. Selain karena tidak banyak yang memiliki keahlian memanjat pohon siwalan, kebanyakan diantara anak muda malu kalau memiliki pekerjaan sebagai pemanjat pohon siwalan,” pungkasnya. ( Ink )

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment - (br)

Most Popular