
Surabaya, Investigasi.today – Pemkot Surabaya bakal mengatur durasi lampu merah atau traffic light di Surabaya. Hal itu untuk meminimalisir polusi udara.
Namun, menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, dampak pengaturan waktu berhenti di lampu merah tidak akan maksimal, jika tak diimbangi dengan perubahan waktu mobilitas masyarakat di Kota Surabaya.
”Jika mobilitas warga terjadi pada jam yang sama, otomatis polusi udara akan semakin meningkat sehingga menyebabkan kualitas udara buruk,” ujar Eri.
Namun, akhir-akhir ini Wali Kota Surabaya Eri mengamati adanya rotasi waktu mobilitas masyarakat di Kota Surabaya. Sehingga, tidak sampai menimbulkan penumpukan kendaraan di jalan.
”Ada rotasi-rotasi (perputaran) yang cepat, tapi itu kembali lagi pada warga Surabaya yang memang alhamdulillah kita lihat lebih banyak waktunya itu tidak berbarengan. Jadi ada yang berangkat lebih pagi, atau siang. Jadi seumpama, ada yang jam kantornya setengah 8, tapi dia mengantar anak terlebih dahulu jam 6, nah itu nggak kembali ke rumah, langsung kerja. Itu yang saya lihat perhitungan hari ini,” ujar dia.
Wali Kota Surabaya Eri juga meminta perusahaan-perusahaan melakukan rotasi pegawai untuk berada di pekerjaan yang dekat rumah. Seperti yang diterapkan terhadap jajaran di Pemkot Surabaya saat ini.
”Jadi misalnya rumah dia di utara, menjadi pegawai kecamatan atau dinas di kawasan utara. Kecuali, kalau memang ada di pusat kota. Itu yang kita lakukan dan semoga perusahaan-perusahaan itu juga selalu punya komitmen yang sama untuk menjaga lingkungan,” tutur Eri.
Lalu bagaimana dengan pengawasan perusahaan atau pabrik di kawasan Kota Surabaya? Wali kota yang akrab disapa Cak Eri Cahaydi itu mengungkapkan, pemkot telah berkirim surat meminta kepada perusahaan-perusahaan atau pabrik untuk berpartisipasi menjaga kualitas udara di Kota Surabaya.
Tak hanya itu, lanjut dia, pemkot juga sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur untuk ikut mengawasi perusahaan atau pabrik di Kota Surabaya.
”Kita (pemkot) kemarin menulis surat juga ke provinsi karena pabrik itu ada beberapa yang menjadi tanggung jawab provinsi dan pengawasannya dilakukan kementerian. Semoga pemkot, perusahaan, Industri atau apapun itu, juga semua warga punya komitmen. Karena sebenarnya saya dan para orang tua lainnya juga akan mewarisi kota ini pada anak cucu kita. Masa kita sebagai orang tua mau meninggalkan lingkungan yang nggak bersih?” ungkapnya.
Tak hanya meningkatkan pengawasan di kawasan industri, dalam hal menjaga kualitas udara di Kota Surabaya pemkot terus gaungkan budaya naik transportasi umum. Seperti yang dilakukan bersama jajarannya di pemkot.
Sejauh ini, pemkot telah berupaya meningkatkan fasilitas transportasi umum perkotaan, mulai dari Suroboyo Bus dan Trans Semanggi untuk menjangkau wilayah perkotaan hingga layanan feeder Wira-Wiri untuk menjangkau di kawasan perkampungan.
Dia menyadari, angkutan pengganti lyn alias feeder masih belum maksimal menjangkau ke beberapa wilayah perkampungan di Kota Surabaya. Meskipun belum maksimal, dia mengajak masyarakat membiasakan diri untuk naik transportasi umum ketika berangkat bekerja atau bepergian di dalam kota.
”Seperti saya ini daerah ketintang, dulu ada bemo (lyn) P, sekarang nggak ada. Jadi terpaksa sekarang saya harus naik dulu ke arah RSI, sama saja bawa motor. Nah, ini yang kita minta perhitungan kepada teman-teman Dishub. Sebenarnya feeder-feeder itu bisa mengangkut dari rumah-rumah, sehingga bisa ke Suroboyo Bus,” papar Eri.
Dia yakin, gerakan budaya naik transportasi umum di Kota Surabaya akan terus dilakukan bersama jajaran di Pemkot Surabaya.
”Karena saya bilang ke teman-teman pemkot, kita meminta orang untuk membiasakan diri, tapi pemkot nggak mau kasih contoh. Makanya, kita kasih contoh dulu baru ngomong, saya yakin warga Surabaya pasti bisa, karena kita kota besar dan bisa menjaga kota ini,” tutur Eri. (Laga)